NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Di Myanmar, melawan kudeta militer adalah urusan yang berbahaya. Aktivis harus terus-menerus berpindah dari satu tempat aman ke tempat lain. Di kegelapan malam, saat internet diputus oleh junta, tentara menyerbu masuk rumah, menculik aktivis, jurnalis, dan siapa pun yang dicurigai melawan. Sejak saat itu, ratusan warga dilaporkan tewas.
Namun cara warga menentang kudeta bukan hanya berdemonstrasi di jalan-jalan. Warga juga melawan kudeta dengan cara lain. Kini ada aplikasi telepon yang mulai berkembang di Myanmar, seperti yang disebut Way Way Nay, yang berarti "pergi." Para pengunjuk rasa menggunakan aplikasi ini untuk mengidentifikasi bisnis mana saja yang berhubungan dengan militer, dan memboikotnya.
Karena Tatmadaw, demikian sebutan untuk tentara di sana, telah membangun gurita kerajaan bisnis raksasa. Ini terdiri dari dua kepemilikan utama, dan segudang anak perusahaan yang saling terkait. Usaha patungan dan perusahaan kecil juga memperkaya tentara dan jenderal.
Baca juga: Gurita Bisnis Militer Myanmar, dari Pariwisata hingga Tambang Batu Mulia
Tentunya, anak dan istri para personel militer juga merupakan bagian integral dari jaringan yang dioperasikan dalam bayang-bayang ini, menurut penyelidikan DW.
Tidak mungkin untuk memahami tingkat dan kedalaman kekuatan ekonomi Tatmadaw tanpa terlebih dahulu mempelajari dua kepemilikan bisnis militer yakni: Myanma Economic Holding Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC).
Keduanya didirikan pada era 1990-an ketika negara itu diperintah oleh junta militer dari era sebelumnya. Bisnis ini kemudian tetap dijalankan oleh personel militer aktif dan pensiunan, beroperasi dalam gelap dan tanpa pengawasan independen.
Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019 mengidentifikasi lebih dari 100 bisnis yang sepenuhnya dimiliki oleh MEHL atau MEC. Namun tim juga mencatat bahwa mereka meyakini belum berhasil mengidentifikasi semua anak perusahaan.
Baca juga: Militer Myanmar Minta Keluarga Bayar Rp 1,2 Juta jika Ingin Ambil Jenazah Kerabat yang Tewas
Anak-anak dan pasangan dari banyak pemimpin militer memiliki dan menjalankan berbagai usaha. Dalam beberapa kasus, mereka diberikan kontrak dan usaha patungan yang menguntungkan dengan MEHL, MEC, dan anak-anak perusahaannya.
Ambil contoh, panglima militer Min Aung Hlaing, yang pada akhir Maret dengan serius memperingatkan para pengunjuk rasa: "Kalian harus belajar dari tragedi kematian yang buruk sebelumnya bahwa kalian bisa terancam tertembak di kepala dan punggung." Dia telah menjadi sasaran sanksi oleh Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) atas pelanggaran serius hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer Myanmar menyusul kudeta dan atas tindakan keras terhadap minoritas muslim Rohingya di Myanmar.
Departemen Keuangan AS pada 10 Maret 2021 juga menargetkan sanksi kepada putra panglima itu, Aung Pyae Sone, dan putrinya, Khin Thiri Thet Mon. Alasannya, menurut pernyataan Departemen Keuangan, adalah kendali mereka atas "berbagai kepemilikan bisnis, yang secara langsung diuntungkan dari posisi dan pengaruh buruk ayah mereka."
Departemen Keuangan mencantumkan enam bisnis yang dijalankan oleh dua anak Min Aung Hlaing, yang keduanya berusia 30-an. Portofolio bisnis mereka cukup beragam, termasuk di bidang bisnis impor medis, restoran, galeri seni, rantai pusat kebugaran, dan bisnis hiburan TV.
Dengan menelusuri data pendaftaran perusahaan, DW berhasil mengidentifikasi tiga perusahaan tambahan yang dikendalikan oleh putra atau putri panglima militer, yakni Pinnacle Asia Company Limited, Photo City Company Limited, dan Attractive Myanmar Company Limited. Pinnacle Asia Company Limited dikendalikan oleh putri panglima militer, sedangkan dua perusahaan lainnya dipegang putranya.
Sejauh ini, tidak satu pun dari perusahaan tersebut yang menjadi sasaran sanksi internasional. Dalam sebuah pernyataan kepada DW, juru bicara Departemen Luar Negeri AS tidak secara langsung membahas apakah akan ada perusahaan tambahan yang dikenai sanksi. Namun departemen itu menekankan akan "terus mengambil tindakan lebih lanjut untuk menanggapi kekerasan brutal yang dilakukan atau dimungkinkan oleh para pemimpin militer Burma."
Data tersebut diambil dari daftar perusahaan DICA (Direktorat Investasi dan Administrasi Perusahaan Myanmar) dan dibuka untuk umum oleh DDoSecrets, sebuah grup yang berbasis di AS yang menerbitkan informasi dari para pelapor dan aktivis. Data ini juga mencakup perjanjian pinjaman dan dokumen bisnis lainnya. Data tersebut menunjukkan, Pinnacle Asia terdaftar pada November 2016 dan mencantumkan aktivitas bisnis utamanya di bidang telekomunikasi.
Baca juga: Pemuda Myanmar Sebar “Molotov” Lawan Pemutusan Internet Junta