Baru-baru ini, Juru Bicara Junta Militer Brigjen Zaw Min Tun mengeklaim, tentara Myanamr tidak akan pernah menembak seorang anak di dalam rumah.
Dan jika itu terjadi, sambung Zaw, pihaknya akan menyelidiki insiden tersebut.
Namun, laporan kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar telah tersbar luas dan telah memicu protes internasional.
"Sejak kekerasan dimulai, kami takut tinggal di rumah. Kami menghabiskan banyak malam bersembunyi di hutan,” kata Makhai.
Baca juga: Inggris Beri Perlindungan Duta Besar Myanmar yang Diusir Junta Militer
Sementara itu, Pemerintah Negara Bagian Manipur di India baru-baru ini mengatakan kepada para pejabat di distrik perbatasan untuk dengan sopan menolak pengungsi dari Myanmar.
Namun, mereka dengan segera mencabut perintah tersebut setelah mendapat kritik dan reaksi keras publik.
Setelah mencabut perintah itu, Pemerintah Negara Bagian Manipur menuturkan pihaknya akan mengambil semua langkah kemanusiaan, termasuk merawat pengungsi yang terluka dari Myanmar.
Tetapi imigrasi tidak resmi adalah masalah politik di India, terutama karena pemilu daerah di Negara Bagian Benggala Barat dan Negara Bagian Assam.
Dua negara bagian tersebut secara historis mengalami gelombang besar pengungsi.
Baca juga: Diusir dari Kedutaan, Dubes Myanmar untuk Inggris Tidur di Mobil
Dua wanita lain yang menyeberang ke India bersama Makhai mengatakan kepada BBC bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk kembali ke rumah hanya jika situasinya membaik.
Keluarga mereka yang lain masih berada di Myanmar.
“Laki-laki bisa bertempur kalau dibutuhkan. Kami, perempuan, sulit kabur kalau tiba-tiba militer datang,” kata Winyi (bukan nama sebenarnya).
Bersama Makhai, dia melarikan diri dari Tamu, Myanmar, dengan putrinya.
Sampai mereka merasa aman untuk pulang, hidup mereka tergantung oleh orang-orang di Distrik Moreh, Negara Bagian Manipur.
Baca juga: Perusahaan Permata Sumber Dana Militer Myanmar Dijatuhi Sanksi AS Saat Korban Capai 600 Jiwa
Selama bertahun-tahun, India dan Myanmar telah menerapkan Rezim Gerakan Bebas.