Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Militer Myanmar Menolak Jadi Boneka China, Justru Ingin Kerja Sama dengan Barat

Kompas.com - 07/03/2021, 16:08 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Reuters

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Para Jenderal Myanmar disebut ingin meninggalkan politik setelah kudeta dan berusaha meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat (AS) bukan China.

Hal tersebut disampaikan oleh Ari Ben-Menashe dalam wawancara telepon dengan Reuters pada Sabtu (6/3/2021).

Ari Ben-Menashe adalah seorang pelobi Israel-Kanada yang dipekerjakan oleh junta Myanmar. Mantan pejabat intelijen militer Israel itu, sebelumnya juga mewakili Robert Mugabe dari Zimbabwe dan penguasa militer Sudan.

Menurutnya, perusahaannya Dickens & Madson Canada telah disewa oleh Jenderal Myanmar. Mereka akan membantu komunikasi junta militer dengan AS dan negara lain, yang menurutnya "salah paham" dengan militer Myanmar.

Dia mengatakan Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar sejak 2016, telah tumbuh terlalu dekat dengan China. Kondisi ini tidak disukai para Jenderal Myanmar.

"Ada dorongan nyata untuk bergerak ke Barat dan AS daripada mencoba lebih dekat dengan China," kata Ben-Menashe. "Mereka tidak ingin menjadi boneka China."

Para Jenderal Myanmar, kata dia, juga ingin memulangkan Muslim Rohingya, yang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Baca juga: Jenazah Kyal Sin, Gadis 19 Tahun yang Ditembak Mati, Digali Aparat Myanmar

Ben-Menashe mengklaim telah berbicara dari Korea Selatan setelah kunjungan ke ibu kota Myanmar, Naypyidaw. Di sana dia menandatangani perjanjian dengan menteri pertahanan junta, Jenderal Mya Tun Oo.

Ben-Menashe mengatakan akan dibayar dengan biaya yang dirahasiakan jika sanksi terhadap militer dicabut.

Seorang juru bicara pemerintah militer tidak menjawab panggilan untuk memberikan komentar pada Sabtu (5/3/2021).

Ben-Menashe mengatakan dia telah ditugaskan untuk menghubungi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk mendapatkan dukungan mereka atas rencana pemulangan Rohingya, minoritas Muslim.

"Itu pada dasarnya mencoba untuk mendapatkan sejumlah dana untuk mengembalikan apa yang mereka sebut Bengali," kata Ben-Menashe.

Istilah “Bengali” digunakan beberapa orang di Myanmar untuk Rohingya, yang menyiratkan bahwa mereka bukan dari negara itu.

Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari serangan militer pada 2016 dan 2017. Ini terjadi setelah tentara melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu, memperkosa wanita dan membakar rumah, menurut misi pencari fakta PBB.

Sementara menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lebih dari 50 demonstran telah tewas sejak kudeta 1 Februari, ketika militer menggulingkan dan menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Ini terjadi setelah partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan pemilihan pada November dengan telak.

Baca juga: Ketika Pakaian Dalam dan Rok Perempuan Jadi Senjata Melawan Militer Myanmar


Pada Jumat (5/3/2021), seorang utusan khusus PBB mendesak Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan terhadap junta atas pembunuhan para pengunjuk rasa.

Pemerintahan Presiden AS di bawah Joe Biden mengecam kudeta tersebut. Sanksi pada tentara dan bisnis yang dikendalikannya juga sudah dijalankan. Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS menolak berkomentar.

Ratusan ribu orang melakukan protes di hampir setiap kota dan kota di Myanmar selama berminggu-minggu. Demonstrasi menuntut pembebasan Suu Kyi dan penghormatan atas hasil pemilihan November, yang menurut militer dirusak oleh penipuan.

Ben-Menashe mengatakan junta dapat membuktikan pemungutan suara itu dicurangi, dan bahwa etnis minoritas diblokir dari pemungutan suara. Tapi mereka tidak memberikan bukti.

Pengamat pemilu Myanmar sebelumnya telah mengatakan tidak ada penyimpangan besar.

Pelobi itu juga mengklaim, dalam dua kunjungannya ke negara itu sejak kudeta, "gangguan tidak meluas." Gerakan protes disebut tidak didukung oleh kebanyakan orang Myanmar.

Menurutnya polisi menangani protes, bukan militer, meskipun ada foto dan rekaman video tentara bersenjata di demonstrasi tersebut.

Dia berargumen bahwa militer ditempatkan dengan baik untuk mengawasi kembalinya demokrasi setelah kudeta yang dilancarkannya.

"Mereka ingin keluar sepenuhnya dari politik," katanya, "tapi ini sebuah proses."

Baca juga: Junta Militer Myanmar Makin Keras, Gerebek Rumah Warga Malam-malam dan Lepaskan Tembakan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Reuters

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com