Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Protes Kudeta Militer di Myanmar Makin Besar, Ingatkan Peristiwa 1998 di Indonesia

Kompas.com - 04/03/2021, 10:17 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

NAYPIYDAW, KOMPAS.com - Gelombang protes menentang kudeta militer di Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera surut, bahkan bertambah besar.

Hal ini kembali mengingatkan publik akan peristiwa serupa di Indonesia pada 1998 silam.

Inilah aksi terbesar di Myanmar sejak Revolusi Saffron menentang rezim militer pada 2007 yang dipimpin barisan biksu Buddha berkain oranye.

Protes massal, ditandai dengan gerakan pembangkangan sipil, belakangan semakin dihadapi dengan unjuk kekuatan oleh aparat keamanan.

Hingga Rabu (3/3/2021), sebanyak 18 orang meninggal dunia sejak pergolakan menentang kudeta pada 1 Februari lalu, seperti yang dilansir dari BBC News Indonesia pada Rabu (3/3/2021). 

Fakta itulah yang membuat salah seorang penggerak aksi, Khin Lay, semakin resah.

"Penumpasan dan penindasan terhadap pengunjuk rasa oleh polisi dan tentara terhadap pemrotes semakin brutal. Di Yangon dan Mandalay, mereka menembaki pengunjuk rasa yang menggelar aksi secara damai, tanpa kekerasan," ungkap Khin Lay.

"Mereka juga semakin banyak menciduk warga. Itulah salah satu ketakutan saya yang utama," ujar Khin Lay yang tinggal di kota terbesar, Yangon.

Baca juga: Diblokir Facebook dan Instagram, Militer Myanmar Sampaikan Ancaman Kematian di TikTok

Tindakan tersebut sejalan dengan peringatan pemerintahan militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing bahwa pihak berwenang tak akan segan-segan mengambil tindakan tegas guna mengendalikan unjuk rasa jika terus berlanjut.

Lebih lanjut, dalam pidato yang dibacakan dalam siaran televisi negara pada Senin (1/3/2021), Panglima Angkatan Bersenjata Min Aung Hlaing mengatakan pemimpin protes dan "penghasut" akan dihukum.

Khin Lay adalah salah seorang aktivis yang kerap berorasi di tengah massa dan juga di depan perwakilan sejumlah negara di Yangon, termasuk Kedutaan Besar Indonesia.

Pesannya jelas, "Tolong jangan berbicara dengan pihak militer dan hormatilah suara kami, rakyat Myanmar."

Suara yang dimaksud ibu berusia 50 tahun itu adalah hasil pemilu pada 8 November 2020 yang kembali dimenangkan mutlak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.

Namun oleh kubu oposisi dan militer, hasil pemilu dinyatakan tidak sah dengan alasan diwarnai kecurangan kendati Komisi Pemilihan Umum setempat menampik tudingan itu.

Sengketa hasil pemilu lantas digunakan sebagai landasan perebutan kekuasaan oleh militer pada 1 Februari 2021, bertepatan dengan hari pertama sidang parlemen baru.

Baca juga: 38 Orang Tewas dalam Demo Myanmar: Ini Mengerikan, Ini Pembantaian

Gerakan reformasi Indonesia 1998 dibandingkan pembangkangan sipil di Myanmar

Peta sosial politik antara Myanmar sekarang dengan Indonesia pada 1998 ketika gelombang demonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur sekaligus mereformasi tatanan Orde Baru, tidak sepenuhnya berbeda.

Hampir semua elemen masyarakat Indonesia ketika itu turun ke jalan. Semula diawali dengan aksi damai, demonstrasi massal akhirnya berubah frontal dan tidak pelak lagi pecah kekerasan.

Syafiq Ali, mantan aktivis komunitas mahasiswa Forum Kota (Forkot) sebelum membentuk Forum Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), mengingat kembali tiga faktor yang mendorong keberhasilan gerakan massal saat itu.

"Ketika 1998 ada jutaan orang yang sudah mengalami pengalaman pahit dengan Orde Baru, mulai dari kekerasan, korupsi dan nepotisme. Yang kedua adalah faktor krisis ekonomi yang terjadi saat itu yang kemudian menyadarkan banyak orang bahwa Orde Baru sudah saatnya selesai.

"Yang ketiga memang ada penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian diikuti dengan kerusuhan," papar Syafiq yang kini menjadi direktur portal NU Online.

Di Myanmar, mereka yang berunjuk rasa, termasuk dalam bentuk pembangkangan sipil, tidak hanya dari kalangan mahasiswa.

Elemen masyarakat yang sudah mapan pada profesinya masing; pengacara, guru, pegawai bank dan bahkan pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyebut sebagian, turut mengambil bagian.

Pengejawantahan gerakan pembangkangan sipil (civil disobedient movement, disingkat CDM) antara lain berupa mogok kerja, mogok membayar pajak, memboikot segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan hasil kudeta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com