Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Profil Idi Amin, Diktator Militer Penjagal Uganda

Kompas.com - 06/02/2021, 01:22 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Thoughtco


KOMPAS.com - Kudeta militer yang terjadi di Myanmar pada Senin (1/2/2021) menjadi sorotan dan mendapat kecaman dunia.

Kembalinya pemerintahan militer dikhawatirkan menarik mundur negara yang baru mencicipi "kebebasan berpendapat" dalam satu dekade itu. Pemerintah militer sebelumnya berkuasa selama 50 tahun di “Negeri Seribu Pagoda.”

Selama itu, kehidupan di Myanmar dibayangi korupsi, harga yang berfluktuasi, penindasan terhadap kehidupan sehari-hari, kekurangan gizi kronis di beberapa daerah, dan perselisihan etnis di daerah lain.

Belum lupa akan “kesulitan” masa-masa pemerintahan militer itu, sejumlah kekhawatiran disampaikan masyarakat Myanmar pun di media sosial mereka.

Tak hanya Myanmar, ingatan meresahkan hidup di bawah pemerintahan militer juga tercatat dalam sejarah Uganda.

Adalah Idi Amin yang berkuasa selama delapan dengan brutal dan lalim di negera tersebut. Kekejamannya membuat dia dikenal sebagai "Penjagal Uganda."

Amin merebut kekuasaan dalam kudeta militer pada 1971. Menurut Guardian, korban tewas selama rezim Amin tidak akan pernah diketahui secara akurat.

Perkiraan terbaik, dari Komisi Ahli Hukum Internasional di Jenewa, adalah tidak kurang dari 80.000 dan kemungkinan besar sekitar 300.000. Sementara Amnesty International, menyebutkan jumlah yang terbunuh sebanyak 500.000.

Kekuasaannya yang dimulai dengan kudeta, kemudian digulingkan kembali oleh kudeta militer pada 1979. 

Baca juga: Bagaimana Hidup di Myanmar di Bawah Pemerintahan Diktator Militer?

Tercemplung ke dunia militer

Idi Amin Dada Oumee lahir sekitar 1923 di dekat Koboko, di Provinsi Nil Barat yang sekarang menjadi Republik Uganda.

Ditinggal ayahnya pada usia dini, dia dibesarkan oleh ibu yang adalah dukun dan peramal. Amin adalah anggota dari suku Kakwa, sebuah suku kecil Islam yang menetap di wilayah tersebut.

Tidak banyak pendidikan formal yang ia peroleh. Pada 1946, ia bergabung dengan pasukan kolonial Afrika-Inggris yang dikenal sebagai King's African Rifles (KAR). Lalu bertugas di Burma, Somalia, Kenya (selama penindasan Inggris atas Mau Mau), dan Uganda.

Reputasi sebagai orang yang kejam sudah dikenal sejak itu. Dia dianggap sebagai prajurit yang terampil. Namun kebrutalan yang berlebihan selama interogasi, beberapa kali membuatnya hampir diberhentikan.

Tapi kemudian dia bisa naik pangkat mencapai sersan mayor. Sampai akhirnya mendapat pangkat tertinggi bagi seorang Afrika kulit hitam yang bertugas di tentara Inggris.

Amin juga seorang atlet ulung, memegang gelar kejuaraan tinju kelas berat ringan Uganda dari tahun 1951 hingga 1960.

Saat Uganda mendekati kemerdekaan, rekan dekat Amin, Apollo Milton Obote, pemimpin Kongres Rakyat Uganda (UPC). Obote lalu diangkat menjadi Menteri Utama dan kemudian Perdana Menteri.

Obote mengangkat Amin diangkat sebagai letnan satu Tentara Uganda. Sebab dia hanya satu dari hanya dua orang Afrika berpangkat tinggi di KAR.

Baca juga: Pemilu Uganda, Diktator Yoweri Museveni Menang untuk Keenam Kalinya

Keras sejak awal

Dengan jabatan tinggi di militer, “insting kekerasan” Amin makin ketara terlihat dalam caranya menyelesaikan masalah. Salah satunya ketika dikirim ke utara untuk memberantas pencurian ternak pada 1962.

Olehnya, operasi sederhana itu berubah menjadi pembunuhan massal yang dikenal dengan Pembantaian Turkana. Dia secara mengerikan menganiaya penduduk hingga tewas.

Kekerasan ini sampai ke Pemerintah Inggris, yang kemudian menuntut suapaya Amin diadili. Sebaliknya, Obote malah mengatur agar dia menerima pelatihan militer lebih lanjut di Inggris Raya.

Sekembalinya ke Uganda pada 1964, Amin dipromosikan menjadi mayor. Dia ditugaskan untuk berurusan dengan tentara yang memberontak. Dinilai “berhasil” menjalankan tugas itu mendorong promosi lebih lanjut bagi Amin menjadi kolonel.

Pada 1966, Obote dan Amin dituding melakukan kesepakatan untuk menyelundupkan emas, kopi, dan gading dari Republik Demokratik Kongo.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com