Menurut data yang dirilis oleh Asosiasi Nuklir Dunia dalam Laporan Kinerja Nuklir Dunia 2020, AS memiliki jumlah reaktor operasional terbesar yaitu 95, namun hanya ada dua PLTN baru yang sedang dibangun.
Sebaliknya, China memiliki 48 unit operasional, tetapi 11 lagi sedang dibangun. Laporan lain dari Asosiasi Energi Nuklir China 2020 menyebutkan, “Negeri Panda” telah memimpin dunia dalam hal pembangunan reaktor baru pada 2018 dan 2019.
Baca juga: Inspirasi Energi: Kenapa Harga Mobil Listrik Mahal? Ini Alasannya
China pertama kali mengusulkan strategi nasional untuk mengekspor energi nuklir secara global pada 2013.
Strategi yang disebut Going Out itu adalah bagian penting dari program Belt and Road yang mempromosikan kesepakatan pembangunan infrastruktur di luar negeri.
Strategi tersebut juga menjadi prioritas utama di bawah Made in China 2025, sebuah inisiatif untuk mendukung industri teknologi tinggi.
Sebuah laporan oleh Asosiasi Energi Nuklir China menyatakan bahwa semua perusahaan besar yang bergerak dalam tenaga nuklir di China telah berpartisipasi dalam strategi tersebut dan secara aktif menjelajahi pasar luar negeri.
Menurut laporan itu, 28 negara berencana mengembangkan tenaga nuklir di sepanjang rute Belt and Road.
CNNC telah menandatangani nota kesepakatan dengan hampir 20 negara, termasuk Argentina, Inggris, dan Pakistan.
Mantan ketua CNNC, Wang Shoujun, mengatakan negaranya dapat membangun sebanyak 30 reaktor nuklir di luar negeri selama 10 tahun berikutnya.
Baca juga: Inspirasi Energi: Panas Laut, Sumber Energi Terbarukan yang Terus Diteliti
Seorang profesor di Universitas Georgia College of Engineering di AS, David Gattie, mengatakan kepada VOA, karena semakin banyak negara yang beralih ke energi nuklir, industri ini semakin menentukan dan membentuk hubungan geopolitik dan status internasional.
Penulis artikel berjudul Twenty-First Century U.S. Nuclear Power: A National Security Imperative tersebut menambahkan bahwa proyek energi nuklir memiliki siklus hidup yang sangat panjang.
Sehingga, hal itu memungkinkan China untuk menjalin hubungan dekat dengan negara penerima yang akan berlangsung selama beberapa dekade.
"Ketika Anda mulai dengan pembangunan pembangkit listrik, pemeliharaan, penanganan limbah nuklir, dan bahkan menonaktifkannya, pembangkit listrik tersebut memiliki siklus hidup sekitar 60 atau 80 tahun,” kata Gattie.
“Jadi, ketika China memasukkan hubungan ini sebagai kemitraan dengan negara berkembang, ini adalah hubungan yang berlangsung selama puluhan tahun," sambung Gattie.
Baca juga: Inspirasi Energi: Energi Arus Laut yang Kurang Dikembangkan
Mantan perwira intelijen AS sekaligus pihak yang ikut menulis artikel tersebut, Joshua Massey, mengamini pernyataan Gattie.