Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Petani India Memusuhi Reformasi Agraria? Ini Penjelasannya

Kompas.com - 28/01/2021, 13:35 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

NEW DELHI, KOMPAS.com - Ambisi India mempercepat transformasi ekonomi terhalang sektor pertanian yang tidak efisien dan berdaya saing rendah.

Sebagai solusinya pemerintah membuka keran komersialisasi, dan sebabnya mendulang amarah petani. Sejak November 2020, para petani menginap di luar kota New Delhi.

Pada Selasa (26/1/2021), ribuan petani India menerobos blokade kepolisian dan berjalan ke pusat kota dengan traktor dan lautan massa, ketika seisi negeri sedang merayakan Hari Republik untuk mengenang pengesahan konstitusi India pasca-penjajahan Inggris.

Polisi membuka tiga koridor sepanjang 60 kilometer untuk demonstrasi para petani, setelah sebelumnya gagal menghalau massa dengan tongkat dan gas air mata.

Demonstran mengibarkan bendera serikat petani dan berkumpul di Benteng Merah, di mana upacara perayaan kemerdekaan digelar setiap tahun.

Baca juga: Nekat Serbu New Delhi dengan Traktor, Ini Penjelasan Aksi Protes Petani India

Pemimpin aksi demonstrasi mengeklaim para petani membawa serta 10.000 traktor ke ibu kota.

Selama dua bulan terakhir, para petani menginap di sejumlah titik di luar kota, mendirikan dapur umum dan menyiapkan pasokan pangan untuk jangka waktu lama.

Mereka menuntut agar pemerintah mencabut Undang-Undang (UU) Agrukultur 2020 yang disahkan September 2020.

Para petani menilai, liberalisasi pasar seperti yang diinginkan pemerintah melukai pemasukan petani.

Baca juga: Puluhan Ribu Petani India Kendarai Traktor Serbu Ibu Kota untuk Memprotes Modi

"Kami ingin menunjukkan kepada Modi kekuatan kami,” kata Satpal Singh, seorang petani India. "Kami tidak akan menyerah,” tukasnya.

Sementara rekannya yang lain, Manjeet Singh, mengecam upaya pemerintah mengorbankan kaum miskin demi pertumbuhan ekonomi.

"Kami akan melakukan apa yang kami inginkan. Anda tidak bisa memaksakan Hukum Anda kepada kaum miskin,” kata dia.

Baca juga: Lagi, Tentara China dan India Terlibat Bentrokan di Perbatasan Baru

Reformasi agraria pro-pasar

UU Agrikultur yang baru disahkan memupus tanggung jawab negara untuk melindungi petani dari tekanan pasar.

Selama ini petani India berpegang pada harga yang ditetapkan pemerintah. Kebanyakan hasil panen dijual di mandi, pasar produk pertanian yang tunduk pada harga pemerintah.

Negara juga menetapkan kuota bahan pangan yang bisa ditimbun demi menjaga stabilitas harga.

Tapi dengan UU baru tersebut, pelaku pasar bisa melakukan transaksi tanpa regulasi di luar mandi. Ditambah dengan hak pengusaha menimbun bahan pangan, harga komoditas perlahan ditentukan oleh pasar.

Baca juga: Tempat Produksi Vaksin Covid-19 Terbesar di India Alami Kebakaran

Hasilnya terlihat di lapangan. Ketika pemerintah mengumumkan reformasi agraria pertengahan tahun lalu, mandi-mandi di India mencatat merosotnya jumlah komoditas yang diperdagangkan di sana.

Di negara bagian Madha Pradesh, sebanyak 40 mandi dikabarkan gulung tikar.

Perdana Menteri India Narendra Modi sejauh ini menepis kekhawatiran petani ihwal komersialisasi sektor agrikultur.

Saat ini salah satu masalah terbesar di sektor pertanian India adalah kepemilikan lahan yang kecil dan membuat lahan pertanian terkotak-kotak dalam skala kecil, sehingga menyulitkan program modernisasi.

Baca juga: Desa di India Gelar Nobar dan Pesta Rayakan Pelantikan Kamila Harris

Modi meyakini reformasi agraria akan mempercepat transformasi di sektor pertanian dan memberdayakan puluhan juta petani di seluruh negeri.

Perihal aksi protes yang tak kunjung surut, dia menuduh partai-partai oposisi menghasut petani lewat rumor dan kabar bohong.

Sejumlah petinggi Partai BJP yang berkuasa bahkan secara terang-terangan menuduh para petani "anti-nasional” lantaran menentang kebijakan negara.

Baca juga: Gara-gara Bermusuhan dengan China, India Ubah Nama Buah Naga

Nasib petani di ujung tanduk

Sejak dekade 1970-an, India menjalankan transformasi secara gradual dari perekonomian berbasis pertanian menuju era industralisasi.

Akibatnya nilai produksi dari sektor pertanian, perhutanan dan perikanan menyusut dari sebanyak 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi cuma 15 persen.

Dan pada saat yang sama, sebanyak 40 persen angkatan kerja masih menggantungkan hidup di sektor pertanian.

Meningkat inflasi dari 2,5 persen pada 2017 menjadi 7,7 persen pada 2019 turut menguras isi kantung petani.

Baca juga: Warga Desa di India Bergembira Jelang Pelantikan Wapres AS Terpilih Kamala Harris

Menurut survei pemerintah antara 2013 dan 2016, sebanyak 52 persen rumah tangga pertanian terikat utang berjangka waktu pendek.

Pada 2018, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan antara tiga tahun itu, upah petani hanya meningkat sebanyak dua persen.

Setahun berselang sebuah komite pemerintah menyimpulkan, pendapatan petani harus meningkat sebanyak 10,4 persen per tahun untuk mengimbangi laju kenaikan upah di sektor lain.

Komite itu juga mencatat, negara harus menginvestasikan dana sebesar 86 miliar dollar AS untuk memodernisasi sektor pertanian. Namun kedua hal tidak dilaksanakan.

Baca juga: India Gunakan Vaksin Covid-19 Dalam Negeri untuk Vaksinasi Massal Mulai Juli

Devinder Sharma, pengamat pertanian yang fokus pada ketimpangan kemakmuran, mengatakan para petani tidak hanya memrotes reformasi, tetapi juga mempertanyakan desain perekonomian di India.

"Rasa amarah yang anda lihat adalah marah yang ditahan,” kata dia.

"Ketimpangan meningkat di India dan petani menjadi semakin miskin. Pembuat kebijakan gagal menyadari ini dan mereka menyedot kemakmuran dari tingkat bawah ke atas," imbuh Sharma.

Baca juga: Berpenduduk 1,3 Miliar, Begini Cara Vaksinasi Covid-19 di India

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com