Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/01/2021, 01:17 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Dinamika politik Amerika Serikat (AS) yang “panas” sejak kontestasi kepresidenan tahun lalu, akhirnya mencapai puncaknya pada Rabu (20/1/2021). Presiden AS Joe Biden akhirnya dilantik bersama Wakil Presiden Kamala Harris.

Meski demikian, pemandangan tidak biasa terlihat dalam pelantikan di Washington DC. Bukan hanya karena pelantikan dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Namun karena wajah ibu kota negara pelopor demokrasi itu yang seolah berubah menjadi “zona perang.”

Pagar setinggi tujuh kaki (dua meter) didirikan di sekitar Gedung Capitol, lengkap dengan penghalang logam. Ditambah 20.000 personel Garda Nasional bersenjata melindungi gedung perkantoran kongres yang mengelilinginya.

Pengamanan ekstra diberlakukan di gedung yang kerap dipandang sebagai lambang demokrasi itu, setelah serbuan pendukung Trump pada 6 Januari. Demonstrasi itu mengakibatkan kerusakan dan sejumlah warga AS tewas menjadi korban.

Bukannya mengubah hasil pemilihan, demonstrasi itu justru membuat Kongres AS semakin mantap menobatkan kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Terpilih AS. Banyak warga AS juga mengecam aksi kekerasan itu.

Baca juga: Presiden Palestina Rencanakan Pemilu Pertama Setelah 15 Tahun, Warga Tak Yakin Demokrasi Tercapai

Melansir Guardian, sebuah studi pada 2011 oleh peneliti AS sebenarnya telah mengungkap efektivitas kampanye dengan kekerasan yang lebih rendah dibanding kampanye damai.

Penelitian terhadap 323 kampanye perlawanan sipil di seluruh dunia antara 1900 dan 2006, menemukan kampanye non-kekerasan berhasil dalam 53 persen kasus, dan kampanye kekerasan hanya 26 persen.

Selain itu, hanya 4 persen dari perubahan rezim dengan kekerasan yang kemudian menjalankan demokrasi dengan baik, dibandingkan dengan 42 persen perubahan rezim tanpa kekerasan.

Adalah Srdja Popovic salah seorang aktivis yang banyak mempromosikan perlawanan tanpa kekerasan, dalam mencapai tujuan politik dan sosial. 

Lewat gerakan demokrasi tanpa kekerasan Otpor!, dia berhasil menggerakkan revolusi di Serbia untuk menjatuhkan diktator Slobodan Milosevic.

Baca juga: Polarisasi Memorakporandakan Demokrasi Amerika

Terinspirasi musik rock

Popovic sebenarnya adalah mahasiswa jurusan biologi di Universitas Beograd. Tapi kini dia bermutasi menjadi guru, penulis, dan pemikir yang dihormati di bidang akademis sosial politik.

Semua karena gerakan perjuangan tanpa kekerasan yang dipeloporinya dan kini coba dilakukan di seluruh dunia.

Awalnya pria kelahiran 1973 ini muak dengan arogansi tentara, polisi keamanan, perang, teror, penindasan di negaranya.

Seluruh kekacauan brutal dan berdarah terjadi di Serbia di bawah diktator, Slobodan Milosevic, yang sering disebut sebagai "penjagal Balkan".

Kemarahannya pada pemerintah yang sewenang-wenang, ternyata dirasakan juga oleh teman-teman sebayanya. Namun saat duduk di tahun pertama Universitas pada 1992 belum banyak yang bisa dia lakukan.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com