Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Ini Ingin Bendung "Kekuatan” Perusahaan Media Sosial Raksasa karena “Sensor” Trump

Kompas.com - 18/01/2021, 17:03 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Penghapusan akun Donald Trump dari platform media sosial raksasa, termasuk Facebook dan Twitter memunculkan kekhawatiran sejumlah pemimpin dunia.

Melansir The Washington Post pada Minggu (17/1/2021), beberapa pemimpin negara telah menyatakan kekhawatirannya atas kekuatan perusahaan swasta tersebut.

Dengan platformnya, mereka bisa memutuskan apa dan kapan akan "menghapus" pemimpin terpilih dari media sosial, yang merupakan bagian penting dari arena publik.

Setidaknya pemerintah Meksiko dan Polandia, sejak itu berencana membuat kebijakan untuk mencegah apa yang terjadi pada Trump terjadi di negara mereka.

Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador mengatakan pemerintahnya akan menjangkau negara-negara G20 lainnya, untuk mencari proposal bersama tentang larangan semacam itu di media sosial. Dia membandingkan proposal ini seperti kasus "Inkuisisi Spanyol."

“Saya dapat memberitahu Anda bahwa pada pertemuan G20 dalam waktu dekat, saya akan membuat proposal tentang masalah ini,” kata López Obrador yang diunggah ke media sosial, pada Kamis (14/1/2021).

Para pemimpin negara dari 20 ekonomi teratas dunia itu, dijadwalkan bertemu pada Mei di Roma.

Detail rencana López Obrador masih belum jelas. Namun Presiden Meksiko itu mengatakan telah menginstruksikan pejabatnya untuk melihat apakah jaringan media sosial yang dikelola negaranya dibuat "tanpa sensor."

Sementara itu, pemerintah Polandia yang dipimpin kelompok konservatif mendorong rancangan undang-undang "Kebebasan Berbicara", yang pertama kali diumumkan bulan lalu. Kebijakan ini akan mengatur pembatasan berpendapat di media sosial.

"Pemilik jaringan media sosial tidak dapat beroperasi di atas hukum," tulis Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki di Facebook pada Selasa (12/1/2021).

“Itulah sebabnya kami akan melakukan segalanya untuk menentukan kerangka kerja Facebook, Twitter, Instagram, dan platform serupa lainnya.”

Baca juga: Ini Twit Terakhir Trump Sebelum Akunnya Ditutup Permanen oleh Twitter

Tanpa menyebut Trump, Morawiecki menyamakan kekuatan perusahaan media sosial dengan kontrol negara di Polandia selama era Komunis.

Sebastian Kaleta, Wakil Menteri Kehakiman Polandia, mengatakan dalam sebuah wawancara minggu ini bahwa larangan terhadap Trump "bahkan bisa disebut sensor."

Di bawah rancangan undang-undang Polandia, pengguna dapat mengajukan petisi kepada perusahaan media sosial. Mereka bisa meminta konten yang dihapus dipulihkan jika tidak terbukti melanggar hukum Polandia.

Meksiko dan Polandia mengharapkan adanya koalisi internasional untuk melawan kekuatan raksasa media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Dua dari perusahaan yang sebagian besar berbasis di AS itu, memutuskan menghapus Trump dari platform mereka. Klaim Trump disebut sudah menghasut kekerasan di Gedung Capitol AS minggu lalu.

Baik López Obrador dan Morawiecki berencana mereka mencari koordinasi dengan negara lain dan Uni Eropa.

David Kaye, seorang profesor hukum di University of California di Irvine, dan mantan pelapor khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, mengatakan upaya regulasi nasional mungkin berhasil.

Tapi menurutnya, akan sulit bagi Meksiko dan Polandia untuk mengajukan kasus mendorong aksi internasional.

“Secara global, terdapat lebih sedikit konsensus. Jika Lopez Obrador membawa proposalnya ke G20, saya pikir diskusi itu akan segera mendapat penentang,” kata Kaye dalam pernyataannya kepada The Washington Post.

Baca juga: Selamat Jalan, Akun Twitter Donald Trump...

Kaye menambahkan bahwa kedua negara kemungkinan akan menghadapi pertanyaan tentang penanganan kebebasan berbicara mereka sendiri, sehubungan dengan skandal yang masih ada di Meksiko.

Negara itu diduga menggunakan “spyware” untuk melacak jurnalis dan aktivis. Ada juga kontroversi yang masih terjadi di Polandia terkait dugaan tindakan keras terhadap kebebasan media dan independensi peradilan.

“Semua tuntutan bagi perusahaan untuk tidak mengatur pidato pejabat publik sangat ironis, atau bisa dibilang munafik,” kata Kaye.

Facebook mengatakan pekan lalu bahwa keputusannya untuk menangguhkan Trump dilakukan dalam keadaan luar biasa.

"Kami percaya bahwa publik memiliki hak atas akses seluas mungkin ke pidato politik," tulis CEO Facebook Mark Zuckerberg.

"Konteks saat ini secara fundamental berbeda, yang melibatkan penggunaan platform kami untuk menghasut pemberontakan dengan kekerasan terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis."

Baca juga: Tak Hanya Menangguhkan Akun, Facebook Kini Blokir Frasa Ini

Dalam wawancara dengan The Washington Post minggu ini, penegak hukum digital terkemuka Uni Eropa mengatakan sifat tidak biasa dari situasi tersebut mungkin bisa dibenarkan dalam kasus Trump.

"Ini, tentu saja, situasi paling ekstrem dari situasi yang paling ekstrem, di mana Presiden AS menghasut orang untuk menyerbu Kongres," kata Wakil Presiden Komisi Eropa Margrethe Vestager.

“Jadi saya sepenuhnya menerima bahwa ini adalah situasi yang ekstrem, dan batasan telah dilanggar.”

Namun, sejumlah pemimpin dunia, termasuk beberapa yang dekat dengan Trump dan beberapa yang lebih skeptis terhadapnya, telah menyatakan keprihatinan tentang langkah perusahaan media sosial tersebut.

Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan pekan lalu bahwa penangguhan permanen akun media sosial Trump dapat "bermasalah" pada pembatasan kebebasan berpendapat, menurut juru bicaranya.

"Hak fundamental ini dapat diintervensi. Tetapi menurut hukum dan dalam kerangka yang ditentukan oleh legislator, ini tidak sesuai dengan keputusan manajemen platform media sosial," kata Steffen Seibert kepada wartawan di Berlin, Senin (11/1/2021).

Di Brasil, Presiden Jair Bolsonaro, sekutu utama Trump, telah mempromosikan perusahaan media sosial saingan seperti Parler dan Telegram.

Baca juga: Twitter Tangguhkan 70.000 Akun Penyebar Teori Konspirasi

Aktivis politik seperti Alexei Navalny dari Rusia dan Ai Weiwei dari China juga mengkritik tindakan terhadap Trump. Mereka membandingkannya dengan penyensoran yang mereka lihat di negara-negara otoriter.

Sementara aktivis Iran telah menyarankan bahwa jika Trump dilarang karena menghasut kekerasan, maka pemimpin tertinggi negara itu, Ayatollah Ali Khamenei, seharusnya juga diperlakukan sama.

Baik pemerintah Meksiko dan Polandia memiliki hubungan yang kuat dengan Trump.

López Obrador menunda ucapan selamat kepada Presiden Terpilih Joe Biden hingga lebih dari sebulan setelah pemilihan November. Sedangkan Polandia menawarkan untuk menjadi tuan rumah pangkalan militer AS yang disebut "Fort Trump."

Kaye mengatakan bahwa meski ada argumen global yang sah tentang regulasi media sosial, waktu dan konteks gerakan tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang motif mereka.

"Pemerintah ini telah menuntut perusahaan mengambil tindakan tegas terhadap ujaran kebencian dan hasutan selama bertahun-tahun," kata Kaye.

"Sekarang saat hal itu dilakukan, dalam konteks pemberontakan yang pada dasarnya atau setidaknya bisa dibilang dipromosikan oleh Presiden Amerika Serikat, Mereka melawan tindakan itu."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com