Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inspirasi Energi: Kenapa Harga Mobil Listrik Mahal? Ini Alasannya

Kompas.com - 04/01/2021, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Dalam acara Battery Day, pada September 2020, CEO Tesla Elon Musk berencana membuat mobil listrik yang murah, sekitar 25.000 dollar AS (Rp 352 juta).

Target harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan Tesla Model 3 yang dibanderol Rp 1,5 miliar di salah satu marketplace Indonesia.

Kenapa harga mobil listrik begitu mahal? Dilansir dari Bloomberg Quint, salah satu komponen yang membuat kendaraan tersebut mahal adalah baterai.

Harga baterai bisa mencapai satu pertiga dari seluruh biaya untuk satu mobil listrik. Itu artinya, jika harga baterai bisa ditekan, maka harga mobil listrik juga bisa berkurang secara signifikan.

Baterai juga merupakan komponen inti dari mobil listrik. Maka, desakan untuk pengembangan baterai mutlak dilakukan.

Baca juga: Inspirasi Energi: Panas Laut, Sumber Energi Terbarukan yang Terus Diteliti

Lalu mengapa harga baterai bisa sangat mahal? Itu karena komponen-komponen penyusun yang ada di dalamnya.

Kendaaran listrik saat ini lazimnya menggunakan baterai lithium-ion yang mampu diisi ulang berkali-kali. Ukuran baterai juga sangat besar agar mobil listrik bisa menempuh jarak yang jauh.

Komponen termahal di setiap sel adalah katoda, salah satu dari dua elektroda yang menyimpan dan melepaskan energi listrik.

Bahan baku yang dibutuhkan dalam katoda adalah bahan baku yang mahal yakni kobalt, nikel, litium, dan mangan.

Bahan baku ini perlu ditambang, diproses, dan diubah menjadi senyawa kimia dengan tingkat kemurnian yang tinggi.

Baca juga: Inspirasi Energi: Energi Arus Laut yang Kurang Dikembangkan

Ilustrasi mobil listrik Thailand.Bangkokpost.com Ilustrasi mobil listrik Thailand.

Harga baterai

Penggunaan baterai untuk setiap mobil listrik memang berbeda-beda, tergantung spesifikasi dan jarak tempuh maksimal yang ditargetkan.

Namun, untuk saat ini, rata-rata biaya baterai untuk kendaraan listrik biasa mencapai sekitar 7.350 dollar AS atau sekitar Rp 102 juta.

Rata-rata harga tersebut telah sangat jauh berkurang dibandingkan sekitar 10 tahun lalu. Penurunannya bisa mencapai 87 persen menurut BloombergNEF.

Selain itu, rata-rata biaya dibutuhkan untuk setiap 1 kilowatt jam kapasitas baterai adalah 156 dollar AS (Rp 2,1 juta). Maka semakin tinggi kapasitas baterai yang diinginkan, semakin mahal pula harga mobil listrik.

Harga tersebut telah jauh berkurang dibandingkan 2010 yakni rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk setiap 1 kilowatt jam kapasitas baterai adalah 1.183 dollar AS (Rp 16 juta).

Baca juga: Inspirasi Energi: Mengenal Energi Ombak Laut yang Potensial

Tetapi, untuk dapat bersaing dengan harga mobil konvensional yang mengonsumsi minyak bumi, harga baterai untuk mobil listrik harusnya di bawah 100 dollar AS (Rp 1,4 juta) untuk setiap 1 kilowatt jam kapasitas baterai.

Ke depan, harga baterai diperkirakan tidak langsung turun dengan cepat. Tapi para ahli memperkirakan harga baterai mobil listrik perlahan-lahan akan turun.

BloombergNEF memperkirakan, pada 2024, harga untuk setiap 1 kilowatt jam kapasitas baterai diperkirakan akan menyentuh 93 dollar AS (Rp 1,2 juta).

Untuk mencapainya, salah satu fokus bagi produsen baterai adalah mengganti kobalt yang berbiaya tinggi dengan nikel.

Penggantian kobalt menjadi nikel disebut-sebut memiliki keuntungan ganda. Nikel lebih murah dan juga mampu menyimpan lebih banyak energi.

Baca juga: Inspirasi Energi: Energi Pasang Surut Air Laut yang Melimpah di Seluruh Dunia

Sehingga, hal itu memungkinkan produsen mengurangi volume yang dibutuhkan untuk setiap baterai.

Kendati demikian, kobalt juga memiliki keuntungan yakni tidak mudah panas atau tidak mudah terbakar.

Artinya, jika mengganti kobalt dengan nikel, produsen perlu melakukan penyesuaian keamanan baterainya.

Perusahaan elektronik dan baterai dari Jepang, Panasonic, berencana untuk mengomersialkan baterai tanpa kobalt dengan kapasitas tinggi dalm dua hingga tiga tahun mendatang.

Baca juga: Inspirasi Energi: Panas Bumi (1) Geotermal Masih Dimanfaatkan untuk Memasak di Negara-negara Ini

Ilustrasi mobil listrikSHUTTERSTOCK/PAUL CRAFT Ilustrasi mobil listrik

Dominasi Asia

Asia mendominasi produksi baterai lithium-ion. Sekitar 80 persen pasokan baterai lithium -ion berasal dari Asia. Mayoritas dari pasokan tersebut berasal dari China.

Sementara itu, Eropa sedang membangun pabrik baterai baru dan diprediksi bakal melampaui Amerika Utara dalam pembuatan baterai mulai 2021, menurut Wood Mackenzie.

Secara keseluruhan, perusahaan asal China, Contemporary Amperex Technology, merupakan produsen yang membuat baterai paling banyak pada 2019.

Bisnis produsen baterai kini menjadi bisnis dengan persaingan yang ketat untuk memasok produsen mobil, yang dipimpin oleh Panasonic pada 2019.

Perusahaan asal Korea Selatan, LG Chem, berhasil melonjak ke depan pada 2020, menguasai sekitar seperempat pasar baterai global dalam delapan bulan pertama, menurut SNE Research.

Baca juga: Inspirasi Energi: Panas Bumi (2) Pemanfaatan Geotermal Sebagai Penghangat Ruangan

Usaha patungan Tesla dan Panasonic adalah produsen baterai terbesar di AS. Sedangkan Northvolt AB, perusahaan yang didirikan oleh mantan eksekutif Tesla, merupakan yang tersbesar di Swedia.

Teknologi baterai lithium-ion telah mendominasi sektor baterai isi ulang sejak dikomersialkan oleh Sony pada 1991.

Perbaikan pada masa pakai, tenaga, berat, dan biaya telah membuat baterai ini semakin populer dan digunakan di mana-mana.

Baterai lithium-ion, seperti semua baterai, memiliki komponen dasar yang sama yakni dua elektroda dan elektrolit.

Baca juga: Inspirasi Energi: Panas Bumi (3) Daftar Negara dengan PLTP Terbesar, Indonesia Peringkat 2

Sistem penyimpanan grid, atau kendaraan yang melakukan perjalanan jarak pendek, dapat menggunakan bahan kimia katoda yang lebih murah dan gabungan antara litium, besi dan fosfat.

Untuk kendaraan berperforma lebih tinggi, pembuat mobil menyukai bahan yang lebih padat energi seperti campuran litium, nikel, mangan, dan kobalt atau campuran litium, nikel, kobalt, dan aluminium.

Kini, baterai untuk mobil listirk menghadapi tantangan baru yakni seberapa banyak kapasitas baterai, seberapa cepat waktu pengisian, dan seberapa aman baterai itu sendiri.

Baca juga: Inspirasi Energi: Bagaimana Pandemi Covid-19 Menganggu Pengembangan Energi Angin?

Ilustrasi baterai untuk mobil elektrifikasiSHUTTERSTOCK/ROMAN ZAIETS Ilustrasi baterai untuk mobil elektrifikasi

Indonesia tak mau ketinggalan

Indonesia resmi menandatangani nota kesepahaman atau Momerandum of Understanding (MoU) dengan LG Energy Solution untuk pembangunan proyek baterai kendaraan listrik.

Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari tindak lanjut kesepatakan investasi industri beterai kendaraan listrik bersama konsorsium BUMN yang sudah dibentuk.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya, penandatanan MoU dilakukan pada 18 Desember 2020, dengan total nilai investasi yang dikucurkan LG sebesar 9,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 142 triliun.

 

Proyek pabrik baterai kendaraan listrik itu melibatkan empat BUMN yakni PT Aneka Tambang, PT Pertamina, PT PLN, dan Inalum.

Sedianya, pabrik baterai itu akan berlokasi di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, Jawa Tengah dengan luas 4.300 hektare.

Baca juga: Inspirasi Energi: Konsumsi Batu Bara dan Pengembangannya ke Depan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com