Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/12/2020, 21:42 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pilkada 2020 cukup menarik perhatian dengan beberapa kandidat muncul dari keluarga orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi.

Indonesia pada Rabu (9/12/2020) melangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan lebih dari 100 juta orang berhak memilih pemimpin politik di 270 wilayah.

Pilkada ini untuk menentukan gubernur di 9 dari 34 provinsi, bupati di 224 dari 416 kabupaten, dan wali kota di 37 dari 98 kota.

Putra pertama Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wali kota di Solo.

Gibran tampaknya mengikuti jejak sang ayah yang mengawali karier pemerintahan sebagai wali kota Solo pada 2005, sebelum menjabat 2 periode sebagai presiden Indonesia.

Sedangkan menantu laki-laki Jokowi, Bobby Nasution, mencalonkan diri sebagai wali kota di Medan.

Penghitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei lokal menunjukkan Gibran memperoleh hampir 90 persen suara dalam pemilihan pada Rabu.

Baca juga: Novel Karya Penulis Indonesia Diadaptasi Jadi Film oleh Netflix

Meskipun tidak semua suara telah dihitung, keunggulannya cukup lebar untuk menjamin kemenangannya, seperti yang dilansir Nikkei Asia pada Rabu.

Hasil resmi akan dirilis pada 15 Desember. Jika dikonfirmasi menang, Gibran akan menjadi wali kota Solo pada Februari mendatang.

Beberapa media asing menyoroti pilkada di Indonesia tahun ini sebagai politik dinasti baru yang akan lahir.

Baik Gibran maupun Bobby, keduanya adalah pendatang baru di dunia politik Indonesia.

Namun, mereka telah mendapat dukungan partai politik besar, di mana Jokowi berada, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sekalipun melawan kader-kader menjanjikan lainnya yang telah berkiprah di PDI-P lebih lama.

“Jika mereka hanya warga negara atau politikus biasa, mereka tidak akan mendapatkan tiket itu dengan mudah,” kata Abdil Mughis Mudhoffir, seorang peneliti post-doktoral di Institut Asia Universitas Melbourne, seperti dilansir Bloomberg pada Selasa (8/12/2020).

“Keluarga Jokowi akan bergabung dengan klub dinasti politik lain yang ada dalam perebutan kekuasaan dan sumber daya," lanjut Mudhoffir.

Baca juga: Universitas Murdoch Akan Hentikan Program Bahasa Indonesia, Ada Apa?

"Politik Indonesia akan tetap sama, atau bahkan memburuk karena dinasti dan nepotisme akan menjadi normal baru,” terangnya.

Para kritikus kini mempertanyakan apakah Jokowi sedang mencoba membangun dinasti politiknya sendiri, dilansir dari Nikkei Asia pada Rabu (9/12/2020).

Sementara itu, dinasti politik adalah sebuah gagasan yang ingin Jokowi hindari dengan menjauhkan diri dari ambisi politik putra dan menantunya, melalui penyangkalan klaim apa pun tentang dinasti politik keluarganya itu.

“Saya tidak pernah memaksa anak-anak saya mengikuti saya atau terjun ke politik, tidak ada hal seperti itu,” kata Jokowi dalam wawancara dengan Kompas TV, November lalu, seperti dikutip Bloomberg.

“Itu hanyalah hak politik setiap warga negara, termasuk anak-anak saya,” lanjutnya.

Panggilan ke juru bicara presiden untuk meminta komentar tidak segera dijawab.

Melansir Bloomberg, Gibran sempat menanggapi isu soal dinasti yang sedang tumbuh, dengan mengatakan dia tidak menjamin kemenangan pemilihan.

“Ini kontes, bukan janji,” katanya setelah pencalonannya diumumkan pada Juli.

Baca juga: Santi Whiteside, Perempuan Berdarah Batak yang Ikut Pilkada Australia

Dinasti politik meningkat

Pada Pilkada 2020, selain keluarga Jokowi yang mencalonkan diri dalam kontestasi politik ini, sejumlah kerabat pejabat negara lainnya juga turut beramai-ramai mencalonkan diri, sebagaimanan yang dilansir dari Nikkei Asia.

Di ataranya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Prabowo Subianto, mencalonkan diri menjadi wakil wali kota Tangerang Selatan, Banten.

Di kota yang sama, Siti Nur Azizah, putri Amin, mencalonkan diri sebagai wali kota.

Mereka akan melawan satu sama lain.

Hanindhito Himawan Pramono, putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, mencalonkan diri sebagai bupati Kediri, Jawa Timur.

Posisi tersebut telah dipegang oleh keluarga yang sama selama lebih dari 20 tahun.

Di tempat lain, adik dari menteri pertanian dan keponakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu bercita-cita menjadi wali kota Makassar. Sedangkan, adik dari menteri tenaga kerja mencalonkan diri sebagai wakil bupati Mojokerto.

Yoes Kenawas, seorang calon doktor ilmu politik di Northwestern University, Amerika Serikat, menemukan ada 52 kandidat dinasti politik seperti itu pada 2015, tetapi pada Pilkada tahun ini setidaknya ada 146 orang.

Itu adalah "yang terbanyak dalam sejarah Indonesia sejauh ini", kata Kenawas seperti yang dilansir dari Al Jazeera pada Selasa (8/12/2020).

Baca juga: Kisah Tukang Sapu Menang Pilkada Lawan Partai Presiden gara-gara Gantikan Kotak Kosong

Kenawas, yang juga pernah mempelajari dinasti politik di Indonesia, mengatakan peningkatan itu dimungkinkan karena banyak politisi yang terpilih pada 2010 dan 2015 sudah menjabat 2 periode, sehingga tidak bisa lagi mencalonkan diri.

Kemudian, banyak dari mereka melihat keluarga mereka sendiri sebagai kandidat terbaik untuk mempertahankan warisan dan kepentingan politik mereka.

“Ini yang pertama dalam sejarah Indonesia di mana anak-anak dan mertua presiden yang aktif, anak-anak wakil presiden, bahkan anak menteri ikut serta langsung dalam pemilihan kepala daerah ketika orang tua atau kerabatnya masih menjabat,” ujarnya.

“Dinasti politik semakin terbukti sebagai indikator di mana ruang untuk bersaing, meski masih luas, tapi semakin menyempit,” imbuh sebagaimana yang dilansir dari Al Jazeera.

Aisah Putri Budiatri, Peneliti Pusat Kajian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan pemilu tahun ini menunjukkan “kegagalan parpol dalam merekrut calon kepala daerah berdasarkan kader internal partai”.

“Banyak dari kandidat berbasis kekerabatan ini bukanlah politisi berpengalaman di bidang pencalonan dan belum membangun jaringan yang mengakar, baik di dalam partai atau dengan komunitas di daerah pemilihan mereka,” katanya kepada Al Jazeera.

Melansir Inter Press Service pada Selasa (8/12/2020), sarjana komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, berkata, “Prinsip meritokrasi dengan aspek kelayakan dan kompetensi merupakan syarat mutlak untuk mendukung kualitas seorang calon.”

Sementara, dosen Komisioner Politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menegaskan bahwa pengembangan kader partai itu penting.

"Beri waktu setidaknya 10 tahun sebelum kader partai menjadi calon eksekutif atau legislatif," ujar Emrus.

Baca juga: Wali Kota Ini Menang Pilkada 2 Minggu Setelah Meninggal karena Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com