JAKARTA, KOMPAS.com - Pilkada 2020 cukup menarik perhatian dengan beberapa kandidat muncul dari keluarga orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi.
Indonesia pada Rabu (9/12/2020) melangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan lebih dari 100 juta orang berhak memilih pemimpin politik di 270 wilayah.
Pilkada ini untuk menentukan gubernur di 9 dari 34 provinsi, bupati di 224 dari 416 kabupaten, dan wali kota di 37 dari 98 kota.
Putra pertama Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wali kota di Solo.
Gibran tampaknya mengikuti jejak sang ayah yang mengawali karier pemerintahan sebagai wali kota Solo pada 2005, sebelum menjabat 2 periode sebagai presiden Indonesia.
Sedangkan menantu laki-laki Jokowi, Bobby Nasution, mencalonkan diri sebagai wali kota di Medan.
Penghitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei lokal menunjukkan Gibran memperoleh hampir 90 persen suara dalam pemilihan pada Rabu.
Baca juga: Novel Karya Penulis Indonesia Diadaptasi Jadi Film oleh Netflix
Meskipun tidak semua suara telah dihitung, keunggulannya cukup lebar untuk menjamin kemenangannya, seperti yang dilansir Nikkei Asia pada Rabu.
Hasil resmi akan dirilis pada 15 Desember. Jika dikonfirmasi menang, Gibran akan menjadi wali kota Solo pada Februari mendatang.
Beberapa media asing menyoroti pilkada di Indonesia tahun ini sebagai politik dinasti baru yang akan lahir.
Baik Gibran maupun Bobby, keduanya adalah pendatang baru di dunia politik Indonesia.
Namun, mereka telah mendapat dukungan partai politik besar, di mana Jokowi berada, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sekalipun melawan kader-kader menjanjikan lainnya yang telah berkiprah di PDI-P lebih lama.
“Jika mereka hanya warga negara atau politikus biasa, mereka tidak akan mendapatkan tiket itu dengan mudah,” kata Abdil Mughis Mudhoffir, seorang peneliti post-doktoral di Institut Asia Universitas Melbourne, seperti dilansir Bloomberg pada Selasa (8/12/2020).
“Keluarga Jokowi akan bergabung dengan klub dinasti politik lain yang ada dalam perebutan kekuasaan dan sumber daya," lanjut Mudhoffir.
Baca juga: Universitas Murdoch Akan Hentikan Program Bahasa Indonesia, Ada Apa?
"Politik Indonesia akan tetap sama, atau bahkan memburuk karena dinasti dan nepotisme akan menjadi normal baru,” terangnya.