KOMPAS.com - Meme dan GIF yang beredar di internet memang terkesan lucu, tapi pengaruhnya di bidang politik dan sosial bisa jadi sangat serius. Literasi media sangat penting agar publik tidak mudah terpengaruh.
Tahun 2020 memang tahun yang penuh tantangan. Tidak heran jika kemudian banyak orang beralih ke humor dan lelucon untuk mendongkrak semangat mereka.
Meme seringnya memparodikan orang atau peristiwa dengan mengubah makna dari citra yang telah ada sebelumnya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni "mimeme" yang berarti tiruan.
Meme dapat menjadi sekadar lelucon, dan dapat pula menyampaikan pesan politik. Meme sudah banyak dipakai dalam kampanye pemilihan umum di Amerika Serikat, misalnya.
Dan Pfeiffer sebagai Direktur komunikasi Gedung Putih di bawah Presiden Barack Obama, yakin bahwa gambar, meme, dan video yang dibagikan secara online sangat berperan penting dalam memenangkan pemilu saat itu.
Baca juga: Akankah Kemenangan Biden di Pilpres AS 2020 Mengakhiri Tren Politik Identitas?
Di Amerika Serikat, meme secara rutin digunakan untuk kepentingan politik.
Sebut saja Donald Trump Jr., yang menyebut diri sendiri sebagai "Jenderal dalam Perang Meme" di Instagram.
Ia adalah salah satu dari banyak tokoh terkenal yang menyebarkan gambar-gambar politis dalam bentuk semacam meme.
Salah satu memenya yang terkenal adalah gambar Presiden Trump menunjuk ke arah audiens. Teks yang menyertai gambar itu berbunyi, "Pada kenyataannya, mereka bukan mengejar saya, mereka mengejarmu. Saya kebetulan berada di tengah."
Baca juga: Pemilu Amerika Disebut Mirip Politik Indonesia, Pidato Trump Tiru Prabowo?
Pada Juli, Twitter menghentikan meme tersebut dibagikan di platformnya karena meme itu menggunakan foto yang memiliki hak cipta.
Di Jerman dan seluruh Eropa, "perang informasi" berbasis meme lebih jarang terjadi.
Namun di sana, ada bot otomatis yang menggembar-gemborkan kandidat tertentu dan memperkuat peredaran informasi yang keliru.
Hal tersebut terbukti dalam diskusi online mengenai respon kesehatan masyarakat terhadap pandemi virus corona.
Di jagad internet, para pendukung langkah-langkah untuk memperlambat penyebaran virus sedang mencoba untuk menghadapi golongan penyangkal pandemi, yang kadang-kadang menyebut diri sendiri sebagai Querdenker, atau “para pemikir yang tidak konvensional.”
Baca juga: Soal Vaksin Corona, Meme Presiden Putin sampai Kabar Hoaks Banjiri Media Sosial
Grup-grup semacam ini telah mendapatkan sekutu mereka di internet.
"Para penyangkal virus corona sedang mengalami radikalisasi real-time yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis jurnalis teknologi Sascha Lobo dalam kolom baru-baru ini untuk mingguan berita Jerman, Der Spiegel.
Lobo mengatakan "radikalisasi secepat kilat" ini terjadi lewat media sosial, di mana komunitas online dengan kepentingan yang tumpang tindih mulai berbaur.
“Penyangkal virus corona atau Querdenker bukan berasal dari kelompok yang homogen,” kata Lobo.
“Gerakan itu agak berbeda pada musim panas 2020 bila dibandingkan dengan gerakan pada musim gugur 2020, sebagian karena telah terinfeksi ide-ide teori konspirasi QAnon,” ungkapnya.
Pesan yang bersifat memecah-belah juga telah dibagikan dalam grup Facebook yang secara umum termasuk apolitis.
Selama musim panas, seruan untuk bergabung dalam aksi unjuk rasa menentang langkah-langkah pemerintah terkait virus corona diposting di grup yang sedianya bertujuan untuk saling berbagi "tumpangan kendaraan".
Ini sempat memicu diskusi hangat, beberapa pengguna pun mengeluhkan telah terjadi penyalahgunaan grup dan memutuskan pergi.
Baca juga: Kisahkan Ilmuwan Jatuh Cinta dengan Virus Corona, Novel Ini Viral di Media Sosial
Platform media sosial menyediakan lahan subur bagi kelompok yang selama ini berada di pinggiran untuk berkembang.
Jejaring sosial pada awalnya memang dibuat untuk memungkinkan pengguna berkomunikasi satu sama lain dan menggunakan jejaring ini. Tapi, kini ada bahaya nyata, di mana orang-orang seolah terjebak dalam ruang gema.
"Jika pengguna hanya mengandalkan sumber yang mengonfirmasi keyakinan mereka yang sudah ada sebelumnya, ini dapat menyebabkan fragmentasi ranah publik," kata Lars Bülow, profesor linguistik di Universitas Wina, Austria.
Bülow mengatakan media sosial memungkinkan individu yang berpikiran sama untuk bersatu di dunia maya dan meningkatkan partisipasi politik individu tersebut.
Dalam hal ini, platform online justru dapat menjadi katalisator perubahan demokrasi.
Baca juga: Turki Buat UU Media Sosial, Konten Kontroversial Akan Didenda Rp 77 Miliar
Sejumlah pemimpin dan aktivis menyerukan agar platform media sosial diatur lebih ketat.
Banyak politisi dan pembuat undang-undang ingin adanya adopsi aturan untuk memastikan interaksi online yang terjadi di masyarakat menjadi lebih beradab dan seimbang.
"Kita perlu mempromosikan literasi media, dan mulai dari anak-anak sekolah," kata Michael Johann, seorang peneliti di Departemen Media, Pengetahuan dan Komunikasi di Universitas Augsburg, Jerman.
Hanya dengan demikian pengguna internet dari berbagai usia dapat secara kritis mengevaluasi konten yang dibagikan di dunia maya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.