WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Dua minggu telah berlalu sejak calon presiden (capres) Partai Demokrat Joe Biden dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020.
Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda presiden petahana Donald Trump akan mengakui kekalahannya dari Biden.
Yang ada, Trump terus-menerus mengklaim dia adalah pemenang pemilu dan telah terjadi kecurangan terstruktur, masif, dan sistematis berskala besar.
Tim kampanye Trump mengajukan gugatan di sejumlah swing states meminta agar pengadilan negara bagian memberikan kemenangan kepada presiden berusia 74 tahun itu.
Bahkan baru-baru ini Trump mengundang pejabat legislatif Michigan ke Gedung Putih melobi mereka supaya memengaruhi electors di electoral college agar tidak memilih Biden yang memenangkan negara bagian Rust Belt itu.
Baca juga: Tolak Tuduhan Trump dalam Pemilu, Anggota Partai Republik Ini Dapat Ancaman Pembunuhan
Tindak-tanduk Trump sangat luar biasa karena belum ada capres dalam sejarah politik AS yang menolak mengakui kekalahan apalagi mencoba mengubah hasil pilpres.
Mengakui kekalahan adalah tradisi demokrasi AS yang telah dijaga tidak terputus sejak 220 tahun lalu atau tepatnya pada pilpres tahun 1800, 24 tahun setelah kemerdekaan negeri “Paman Sam”.
Presiden ketika itu John Adams yang gagal memenangkan periode kedua mengakui kekalahannya secara terbuka dari lawannya Wakil Presiden Thomas Jefferson.
Seiring berkembangnya zaman, capres AS mulai menggunakan teknologi yang paling pesat untuk mengakui kekalahan.
Capres Demokrat mantan anggota DPR dari Nebraska William Jennings Bryan adalah yang pertama menggunakan telegram pada pilpres 1896.
Baca juga: Biden Terkendala Susun Rencana Tangani Pandemi Covid-19 karena Sikap Trump
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan