KOMPAS.com—Warga Amerika Serikat, Sabtu (7/11/2020) atau Minggu (8/11/2020) WIB, memastikan kemenangan Joe Biden sebagai presiden terpilih, setelah kampanye dan pemungutan suara yang alot melawan Donald Trump dalam Pilpres AS 2020.
Bagi masyarakat dunia, kemenangan Biden seolah memberi harapan baru, utamanya soal rasionalitas politik pemilih dari negara yang mengklaim diri sebagai empunya demokrasi.
Suara Biden mengalahkan Trump yang secara konsisten memosisikan diri sebagai pemimpin populis, dengan menggaungkan narasi politik identitas, menjadi contoh besar dalam daftar tren mencuatnya pemimpin populis dunia setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Baca juga: Hasil Pilpres AS 2020 Trump vs Biden
Namun, akankah terpilihnya Biden saat ini menjadi tanda bahwa masyarakat demokrasi dunia sudah mulai “insaf” dari narasi pemimpin populis?
Rasanya kita masih harus menunggu....
Tren pemimpin populis muncul kembali ke permukaan sebagai jawaban dari antitesa elite pemerintah yang berkuasa, dengan mengedepankan keberpihakannya terhadap masyarakat yang “tertindas”.
Yang membuat para pemimpin populis di era globalisasi saat ini "mengerikan" adalah karena tren penggunaan narasi yang membenturkan toleransi antar-identitas.
Mereka cenderung secara membabi buta membela masyarakat mayoritas yang seolah terpinggirkan, dengan menyulut kebencian pada kelompok minoritas yang dianggap mendapat keuntungan lebih besar dalam tatanan masyarakat saat ini.
Padahal, kesemuanya untuk kepentingan elektoral.
Empat tahun lalu, Trump berhasil mendapatkan simpati publik Amerika dengan narasi “Make America Great Again”, mengedepankan masyarakat kulit putih sebagai “orang asli” Amerika yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah.
Narasi Trump menabur kebencian antara orang kulit putih dan non-kulit putih.
Saat itu, bukan hanya AS yang mengalami tren pemimpin populis. Ada Inggris dengan keputusan Brexit, Turki dengan terpilihnya Erdogan yang ingin mengembalikan masa kejayaan Ottoman, serta menguatnya dukungan bagi kelompok ekstrem kanan di negara-negara Eropa Barat yang membawa narasi Eropa-sentrik.
Sebelum gegap gempita Biden yang dianggap bakal mengakhiri narasi politik identitas Trump, Perancis terlebih dahulu mengklaim berhasil “menghindar” dari tren pemimpin populis.
Emmanuel Macron berhasil menang melawan kandidat dari partai ekstrem kanan Perancis, Marine Le Pen, yang hadir dengan narasi populis.
Baca juga: Profil Joe Biden: Presiden AS Tertua, setelah 3 Dekade Mencalonkan Diri
Dengan mengedepankan reformasi ekonomi serta keterbukaan pada globalisasi, Macron saat itu terpilih menjadi Presiden Perancis.
Namun, masa bulan madu Macron dengan narasi kampanyenya tak bertahan lama. Di tahun kedua kepemimpinan Macron, reformasi ekonomi justru mengalami jalan buntu.
Gerakan besar-besaran “gilets jaunes” (rompi kuning) memprotes tingginya biaya hidup akibat kebijakan ekonomi Macron sempat menggoyang posisinya.
Kemarahan akibat kondisi ekonomi ini membuat narasi kelompok ekstrem kanan tentang “orang asli” Eropa yang seharusnya mendapat prioritas utama dalam perekonomian negara kembali mencuri perhatian publik.
Pada pemilu lokal Perancis tahun ini, Partai ekstrem kanan menang besar, utamanya di daerah-daerah dengan ekonomi yang tertinggal.
Marine Le Pen kembali digadang-gadang menjadi pesaing terkuat Macron pada Pemilu Presiden 2022. Narasi politik aliran tengah membuat Macron terjepit.
Masa depan dukungan politik Macron bergantung pada usahanya kembali mengambil simpati publik, utamanya masyarakat kulit putih ekstrem kanan yang jumlahnya semakin banyak.
Baca juga: Menang Pemilu AS, Ini Kata-kata Pertama dari Joe Biden
Puncaknya, Macron mengambil momentum dengan membuat sikap kontroversial terkait pemenggalan Samuel Patty oleh sekelompok imigran Muslim beberapa waktu lalu.
Ia menggaungkan narasi kebencian pada masyarakat Muslim, kaum yang sejak awal telah teralienasi dan menjadi sasaran utama kemarahan kaum ekstrem kanan; sebagai taktiknya bertahan dalam meraup keuntungan elektoral.
Macron terbawa arus politik identitas yang sebelumnya ia lawan, dalam pertarungan mendapat simpati masyarakat.
Meski tidak bisa menyamakan Perancis dan Amerika Serikat ataupun negara lain di dunia, kisah Macron menunjukkan betapa dinamisnya alam demokrasi yang kita hadapi saat ini.
Di tengah beragam diskursus dan perdebatan politik yang bebas, kebijakan pemimpin sering kali dihadapkan pada persimpangan jalan. Memilih pada idealisme yang tidak populer atau memenuhi hasrat emosi publik untuk bertahan dalam kekuasaan.
Jika mendudukkan kembali awal munculnya kepemimpinan populis dan narasi politik identitas di berbagai belahan dunia, kita juga akan mendapati kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah sebagai sumbernya.
The Global Happiness and Political Attitudes Survey tahun 2019 menyebutkan bahwa kegagalan pemerintah dalam memberikan kebahagiaan dan kepercayaan kepada masyarakat cenderung membuat masyarakat ingin mengubah tatanan politik negara.
Kegagalan itu menjadi jalan bagi menjamurnya kepemimpinan populisme, utamanya bagi pemerintahan yang menghadapi masalah ekonomi, sosial, dan keamanan.
Ketakutan publik sebagai kaum yang tidak diperhatikan mudah dieksploitasi menjadi narasi yang emosional oleh pemimpin populis. Kebanyakan melalui isu identitas.
Jalan Biden sebagai Presiden AS yang membela konsep Amerika untuk semua golongan, masih panjang.
Warga AS utamanya para pekerja kulit putih memiliki memori yang segar tentang kekecewaan terhadap pemerintah akibat pengangguran, tingginya tingkat imigrasi, serta trauma terhadap terorisme yang menyebabkan ketakutan kolektif dan menjadi sumber narasi bagi kemenangan Trump pada Pilpres AS 2016.
Dalam diskursus demokrasi AS yang bebas, sedikit saja Biden membuat kebijakan yang tak bisa mengakomodir kebutuhan mayoritas, narasi populis berkedok identitas bisa mudah kembali menyuntik publik AS.
Baca juga: Profil Kamala Harris: Wanita Kulit Hitam Pertama yang menjadi Wakil Presiden Amerika
Selain itu, melihat dinamika protes di AS selama kepemimpinan Trump baik melalui Parlemen maupun protes jalanan, kita juga melihat potensi tekanan publik pada kepemimpinan Biden nantinya.
Dengan semangat pluralisme dalam pembangunan Amerika ke depan, Biden harus pintar-pintar menjaga kepercayaan masyarakat, bukan hanya pada kaum yang saat ini dirugikan oleh kepemimpinan Trump, tetapi juga masyarakat mayoritas kulit putih yang menjadi ceruk besar pendukung Trump.
Jika Trump digoyang oleh Black Lives Matter, boleh jadi kepemimpinan Biden nanti ditekan justru oleh kelompok mayoritas yang merasa termarginalkan.
Dalam potensi tekanan besar ini, idealisme kebijakan dan gestur politik Biden akan diuji, apakah tetap teguh pada semangat pluralisme atau justru terbawa pada emosi narasi identitas sempit untuk menjaga dukungan publik.
Sama seperti Macron, pada saatnya nanti Biden juga memiliki kepentingan elektoral, baik untuk terpilih kembali dalam periode kedua maupun untuk suara partainya.
Demokrasi saat ini menghendaki rasionalitas dan kedewasaan semua pihak. Ini tidak hanya tentang masyarakat yang memiliki hak untuk berpendapat dan memilih, tetapi juga soal rasionalitas dan kedewasaan politisi dalam memilih narasi yang ia gunakan untuk meraih simpati.
Kekecewaan sedikit atau sebagian kelompok masyarakat terhadap kebijakan publik pada akhirnya adalah keniscayaan yang sulit dihindari.
Namun, mengonversinya menjadi kebencian untuk kepentingan elektoral adalah pilihan—. pilihan yang ditentukan akal sehat yang memilih dan yang terpilih.
Semoga Biden menjadi awal dan contoh yang baik untuk demokrasi akal sehat ke depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.