Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perancis: Sekularisme, Kartun Nabi Muhammad, dan Sikap Presiden Macron

Kompas.com - 31/10/2020, 17:37 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

PARIS, KOMPAS.com - Tiga insiden serangan teroris terjadi di Perancis dalam satu bulan terakhir, dua orang luka-luka dan empat orang tewas.

Dua staf perusahaan rumah produksi mengalami luka-luka akibat diserang dengan pisau di Paris pada akhir September.

Seorang guru sejarah sekolah menengah di pinggiran Paris, Samuel Paty, dipenggal kepalanya pada Jumat 16 Oktober, setelah ia memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya saat membahas tema kebebasan berpendapat.

Baca juga: Pemerintah Italia Dituduh Datangkan Tersangka Pembunuhan di Gereja Perancis

Kemudian, terjadi serangan di Nice, di Perancis selatan, pada Kamis (29/10/2020) yang menyebabkan tiga orang tewas, salah seorang korban "nyaris terpenggal".

Setelah terbunuhnya Paty, Presiden Emmanuel Macron secara tegas mengatakan bahwa negara tidak akan mengkritik tindakan Paty yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad.

Ia juga menggambarkan Paty sebagai perwujudan dari "wajah Republik".

Ia membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad, sikap yang memicu kemarahan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Perancis adalah negara yang menjunjung sekularisme.

Sekularisme negara atau laicite menduduki posisi sentral dalam identitas nasional Perancis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari moto pasca-revolusi, yaitu "liberty, equality, fraternity".

Baca juga: Sebelum Beraksi, Pelaku Teror Gereja Perancis Sempat Telepon Keluarga

Berdasarkan prinsip laicite ini, ruang publik, seperti ruang kelas dan tempat kerja, harus bebas dari agama. Negara beralasan, menekan kebebasan berpendapat untuk melindungi perasaan komunitas tertentu melemahkan persatuan nasional.

Di "Negeri Anggur", warga berhak beragama tapi orang juga berhak untuk tidak beragama. Keduanya sama-sama dilindungi oleh negara.

Pada 1905, dikeluarkan undang-undang yang melindungi sekularisme, yang ditujukan untuk melindungi kebebasan warga untuk menjalankan agama namun juga untuk mencegah masuknya agama di institusi-institusi negara.

Undang-undang tersebut menopang undang-undang lain yang melindungi hak untuk menistakan agama, yang dikeluarkan pada 1881.

Dalam konteks ini, majalah satire Charlie Hebdo bisa menerbitkan karikatur Nabi Muhammad atau Yesus. Karena undang-undang tersebut, majalah ini bisa menerbitkan karikatur tanpa khawatir diajukan ke pengadilan dengan sangkaan melakukan memicu kebencian.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Perancis, boleh menista agama, namun tak boleh menghina seseorang berdasarkan agama yang ia anut.

Baca juga: Keluarga Pelaku Teror di Perancis: Kami Ingin Bukti, jika Benar, Hukum Dia

Samuel Paty, guru Sejarah dan Geografi di Perancis yang dipenggal oleh remaja 18 tahun bernama Abdoullakh Anzorov pada Jumat (16/10/2020).The Sun Samuel Paty, guru Sejarah dan Geografi di Perancis yang dipenggal oleh remaja 18 tahun bernama Abdoullakh Anzorov pada Jumat (16/10/2020).

"Tidak nyaman"

Insiden pemenggalan memicu aksi-aksi solidaritas untuk Paty di seluruh penjuru Perancis.

Wartawan BBC di Paris, Lucy Williamson, mengatakan aksi yang memperlihatkan persatuan nasional ini "sejatinya menyembunyikan penentangan yang makin besar tentang bagaimana negara memandang sekularisme dan kebebasan berpendapat".

Namun, kata wartawan BBC, makin banyak orang yang tidak nyaman dengan argumen soal sekularisme dan kebebasan berpendapat, termasuk soal kebebasan untuk membuat dan menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Baca juga: Warga Perancis Marah menjadi Target Serangan Terorisme

Sejumlah guru mengatakan, mereka merasakan perubahan setelah 2015, ketika beberapa laki-laki bersenjata menyerang kantor majalah Charlie Hebdo, menyusul keputusan majalah ini menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Guru filsafat Alexandra Girat mengatakan beberapa siswa berpandangan bahwa keputusan menerbitkan kartun ini tak bisa diterima.

Para murid mengatakan Nabi Muhammad tak bisa digambarkan melalui karikatur seperti itu.

Akar menajamnya perpecahan pandangan terkait identitas keagamaan dan kebebasan berpendapat diakui sangat kompleks.

Akar tersebut mencakup konflik di negara-negara lain dan rasialisme serta marjinalisasi sosial yang dialami oleh keluarga para imigran di dalam negeri di Perancis.

Baca juga: Ibu Pelaku Teror Penyerangan Pisau di Perancis Menangis dan Terkejut atas Perbuatan Anaknya

"Separatisme Islam"

Sebelum insiden pemenggalan kepada Paty, pada awal Oktober, Presiden Macron dalam satu pidato menegaskan bahwa "sekularisme adalah dasar negara" dan "separatisme Islam harus ditangani".

Dalam kesempatan ini pula, Macron mengumumkan rancangan undang-undang yang lebih keras untuk menangkal "separatisme Islam" ini dan untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler.

Macron mengatakan komunitas Muslim di Perancis, yang berjumlah enam juta orang, "mungkin akan membentuk masyarakat tandingan".

Baca juga: Demo Anti-Perancis Menjalar ke Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan

Agar "bahaya ini" tidak menjadi kenyataan, Macron mengusulkan beberapa hal, yang mencakup pengawasan yang lebih terhadap sekolah dan kontrol yang lebih besar terkait pendanaan masjid dari luar negeri.

Macron mengatakan bentuk sektarianisme seperti ini sering diterjemahkan untuk tidak memasukkan anak-anak ke sekolah umum dan menggunakan kegiatan olahraga, budaya dan komunitas sebagai "alasan untuk mengajarkan ke anak-anak tentang nilai-nilai yang tak sejalan dengan hukum yang berlaku di Perancis".

Menurut Macron, Islam "mengalami krisis di banyak negara, tak cuma di Perancis".

Langkah yang disiapkan pemerintah dan dimasukkan ke parlemen pada akhir tahun mencakup:

  • Pengawasan yang lebih ketat terhadap organisasi olahraga dan perkumpulan lain sehingga tak menjadi medium pengajaran Islam,
  • Imam tak boleh didatangkan dari luar Perancis,
  • Peningkatan pengawasan pendanaan masjid,
  • Pembatasan home-schooling.

Macron juga mengatakan Perancis harus berbuat lebih banyak menawarkan ekonomi dan mobilitas sosial ke komunitas-komunitas imigran.

Ia menambahkan kemiskinan bisa dimanfaatkan oleh kelompok atau orang-orang berpaham radikal.

Baca juga: Twitnya soal Islam dan Perancis Dihapus Twitter, Mahathir: Tidak Adil

Presiden Perancis Emmanuel Macron (tengah, bermasker hitam) menemui tentara setelah serangan pisau di gereja Notre-Dame di Nice, Perancis selatan, Kamis, 29 Oktober 2020. AP/Eric Gaillard Presiden Perancis Emmanuel Macron (tengah, bermasker hitam) menemui tentara setelah serangan pisau di gereja Notre-Dame di Nice, Perancis selatan, Kamis, 29 Oktober 2020.

Kritik terhadap pernyataan Macron

Pidato Macron adalah hasil dari diskusi selama berbulan-bulan dengan para pemimpin agama dan akademisi, kata wartawan BBC di Paris, Hugh Schofield.

Namun, sejumlah pihak mengkritik pidato Macron.

Ada yang berpandangan, usul itu sengaja diajukan untuk menarik dukungan para pemilih sayap kanan, menjelang pemilihan presiden pada 2022.

Sejumlah aktivis juga menyerang proposal Macron dengan menggambarkan sebagai "upaya pemerintah untuk menekan perkembangan Islam".

Baca juga: Pesan Terakhir Ibu 3 Anak yang jadi Korban Penyerangan di Gereja Nice Perancis

Pegiat hak asasi manusia Yasser Louati mengatakan, proposal pemerintah "memberi angin" kepada kelompok kanan jauh dan kelompok-kelompok anti-Muslim, sementara pada saat yang sama juga "sangat merugikan murid-murid Muslim" yang harus belajar di rumah karenna pandemi virus corona.

Tokoh Muslim, seperti Chems-Eddine Hafiz, melalui kolom di surat kabar menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai konsep "separatisme Islam" tidak bisa ditujukan secara keseluruhan ke setiap Muslim di Perancis.

Ia menyatakan ada perbedaan yang jelas antara Islam sebagai agama dan ideologi Islamis.

Kritik juga datang dari luar "Negeri Anggur". Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut Presiden Macron perlu "perawatan mental".

Presiden Erdogan mengatakan, "Apa masalah orang bernama Macron ini dengan Muslim dan Islam? Macron perlu perawatan mental."

Baca juga: Setelah Trump, Twitter Tandai dan Hapus Twit Mahathir soal Perancis

Pemimpin Turki ini mengatakan "tak ada kata-kata lain yang bisa dikemukakan untuk menggambarkan kepala negara yang tidak memahami kebebasan menjalankan keyakinan agama dan bertindak seperti itu kepada jutaan orang yang tinggal negaranya yang memeluk agama yang berbeda".

Para pejabat Perancis menyebut pernyataan Erdogan "kasar dan tak pantas".

Perancis juga menarik duta besar mereka di Ankara.

Turki kemudian menyerukan boikot atas produk-produk Perancis, seruan yang juga muncul di sejumlah negara di Timur Tengah.

Di luar Timur Tengah, terjadi juga unjuk rasa di wilayah Palestina, Pakistan, India, Bangladesh, dan Indonesia.

Para demonstran menggambarkan Perancis sebagai "negara yang memperlihatkan Islamofobia".

Baca juga: Tersangka Pembunuhan di Gereja Perancis: Pria Tunisia Berusia 21 Tahun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com