Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inspirasi Energi: Benarkah Biodiesel Ramah Lingkungan?

Kompas.com - 19/10/2020, 12:19 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

Menanggapi berbagai kegunaan dan permintaan pasar yang terus meningkat, budidaya kelapa sawit global cukup meningkat, dengan 75 persen dari produksi diperdagangkan secara internasional.

Industri minyak sawit global, senilai 65,73 miliar dollar AS (Rp 968 triliun) pada 2015 diproyeksikan mencapai 92,84 miliar dollar AS (Rp 1.367 triliun) pada 2021.

Di Afrika dan Asia Tenggara, industri kelapa sawit menciptakan lapangan kerja, memperluas basis pajak perusahaan dan mendorong investasi sosial di masyarakat agraris yang miskin.

Baca juga: Nasib Petani di Negeri Lumbung Sawit

Deforestasi

Indonesia dan Malaysia menyumbang 85 persen dari industri minyak sawit global sebagaimana dilansir dari The Brenthurs Foundation.

Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit memicu hilangnya keanekaragaman hayati hutan tropis dengan laju yang sangat menyedihkan lebih dari 1 persen per tahun.

Perambahan luas perkebunan kelapa sawit skala besar ke dalam habitat hutan telah mengakibatkan populasi orangutan, gajah, badak, dan harimau di Asia Tenggara diklasifikasikan sebagai "terancam punah" atau "sangat terancam punah" dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Masa depan Orangutan Sumatera yang sangat terancam punah, yang telah menjadi simbol gerakan anti-kelapa sawit, menjadi semakin tidak pasti.

Antara 2001 dan 2018, sekitar 26 juta hektare hutan di Indonesia telah hilang. Dengan hilangnya hutan, serapan karbon akan menjadi berkurang dan malah memperburuk gas rumah kaca dan mempercepat perubahan iklim.

Di Kalimantan saja, sebuah pulau yang wilayahnya terbagi untuk Indonesia dan Malaysia, membuka 26 juta hektare hutan antara tahun 2000-2018.

Baca juga: Budidaya 1,5 Juta Bibit Sawit Unggul di Riau, Apa Manfaatnya?

Dalam hal pengejaran kelapa sawit, perselisihan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan telah lama muncul.

Meningkatnya permintaan minyak sawit yang tidak berhenti akan semakin mendorong deforestasi, mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, mengancam kepunahan spesies flora dan fauna yang tak terhitung jumlahnya.

Flora dan fauna yang hidup di hutan tropis tidak dapat hidup dalam monokultur pohon sawit, dan penurunan jasa ekosistem.

Degradasi cepat dari penyerap karbon yang menipis yang disediakan oleh hutan hujan tropis mengakibatkan emisi karbon yang terperangkap ke atmosfer, memperburuk bencana krisis iklim saat ini.

Penolakan yang berkembang terhadap perkebunan kelapa sawit yang dipimpin oleh organisasi seperti gerakan "bebas dari minyak sawit" yang sedang tren di kalangan milenial.

Kendati demikian, masyarakat harus benar-benar bijaksana. Sebab dengan mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, atau lobak, kemungkinan akan semakin meningkatkan alih lahan hutan yang menyebabkan deforestasi yang lebih besar.

Pasalnya, produksi minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, atau lobak jauh lebih sedikit dibandingkan minyak sawit per hektare.

Baca juga: Wapres Sebut Ekspor Minyak Sawit Indonesia Turun 11 Persen akibat Pandemi Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com