Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Produksi Narkoba dan Obat Rekreasi Ciptakan Kerusakan Lingkungan

Kompas.com - 12/10/2020, 16:28 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

Sandoval juga menegaskan bahwa perkebunan yang dia survei hanya mencakup 20 persen dari total area budidaya koka.

Baca juga: Produksi Opium Myanmar Meningkat Tahun Depan

Perangi narkoba, tapi lingkungan rusak

Hingga kini, pemerintah Kolombia mengandalkan strategi pemberantasan tanaman dalam memerangi budidaya koka.

Sebagai bagian dari strategi ini, pemerintah mengerahkan pesawat untuk menyemprot perkebunan koka dengan herbisida glifosat berkonsentrasi tinggi.

Metode ini secara efektif menghancurkan banyak perkebunan koka, tetapi juga merusak hutan dan lahan pertanian di sekitarnya.

Elizabeth Tellman, ahli geografi di Institut Bumi Universitas Columbia, New York, mengatakan bahwa pendekatan ini merugikan lingkungan.

Begitu sebuah ladang dihancurkan, kartel narkoba dapat dengan mudah menebangi lebih banyak hutan di tempat lain dan menanam tanaman koka baru di sana.

Daun koka yang ditumbuhkan dengan cara membabat hutan kemudian diproses menjadi kokain di sebuah laboratorium rahasia.

Proses ini membutuhkan bahan kimia yang sangat beracun seperti amonia, aseton, dan asam klorida.

Para ilmuwan memperkirakan bahwa beberapa juta liter zat ini berakhir terbuang di tanah dan sungai setiap tahunnya.

Hanya ada sedikit tumbuhan atau hewan air yang dapat hidup di daerah yang sudah terkontaminasi zat-zat berbahaya ini.

Baca juga: Di Aceh, Lahan Bekas Tanaman Ganja Dijadikan Lahan Pertanian Produktif

Di Afghanistan, permukaan air tanah turun drastis

Sekitar 337.000 lapangan sepak bola, atau 23 kali luas Paris - itulah jumlah tanah yang digunakan untuk menanam opium di seluruh dunia pada tahun 2019, menurut laporan PBB.

Produsen terbesarnya adalah Myanmar, Meksiko dan Afghanistan, yang menyumbang 84 persen budidaya opium di seluruh dunia.

Di Afghanistan, ladang opium tersebar utamanya di wilayah barat daya. Hingga tahun 1990-an, daerah ini masih berupa gurun pasir yang gersang, tanpa perkebunan dan tanaman apa pun.

Tapi saat ini, di sana tinggal sekitar 1,4 juta orang yang bermata pencarian dari budidaya opium dan pertanian.

Semua ini dapat terjadi berkat adanya lebih dari 50.000 unit pompa air tenaga surya untuk menghijaukan gurun.

Namun cerita penghijauan gurun ini tidak seramah lingkungan seperti kelihatannya. Sebuah laporan oleh ekonom sosial David Mansfield menjabarkan bahwa air tanah di kawasan itu menurun sedalam 3 meter tiap tahunnya.

Kini orang-orang di daerah tersebut tengah berupaya mengebor sumur hingga kedalaman 130 meter untuk mencari air.

"Setiap tahun, kian banyak orang datang ke gurun dan mengebor sumur air. Ada kekhawatiran di antara warga lokal bahwa akan segera datang masanya ketika produksi pertanian tidak lagi mungkin dilakukan," ujar Mansfield.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com