Status quo tersebut, pendudukan tanpa deklarasi kemerdekaan, didukung oleh pemerintah Yerevan hingga kini.
“Posisi Armenia dan Azerbaijan sudah sedemikian membatu, dunia internasional tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap kedua negara,” kata Nicu Popescu, Direktur Program Eropa Luas di Dewan Eropa untuk Kebijakan Luar Negeri.
Dia meyakini bahwa skenario paling realistis saat ini adalah eskalasi perang yang akan “mengiris” wilayah Karabakh.
“Kita harus kembali ke sana,” kata Presiden Aliyev, akhir pekan silam, dan menyebut wilayah pegunungan itu sebagai “rumah kita.”
Agustus silam, saat PM Pashinyan mengunjungi Karabakh, dia untuk pertama kalinya menyerukan penyatuan dengan Armenia. “Artsakh (Karabakh) adalah Armenia. Titik.”
Baca juga: Azerbaijan Tuding Armenia Bombardir Kota Ganja, 9 Orang Tewas
Hingga kini kedua negara merawat tafsir sejarah versi masing-masing yang fokus membahas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan masing-masing lawan, serta melewatkan sejarah kekejaman sendiri.
Armenia misalnya mengenang pembantaian Sumgait di Azerbaijan, ketika kerusuhan massal pada Februari 1988 menyisakan 26 korban jiwa warga etnis Armenia.
Tapi di Khojaly, 1992, Armenia menembaki warga sipil yang berusaha melarikan diri dalam sebuah pembantaian, yang menurut Azerbaijan, menewaskan ratusan orang.
Sejak gencatan senjata berakhir pada ketegangan terakhir tahun 2016 silam, “proses perundingan damai dihentikan melalui komunikasi yang dilakukan dalam retorika yang penuh amarah,” tulis seorang analis di lembaga penelitian, International Crisis Group.
Adapun keterlibatan Turki, memicu dendam sejarah bagi Armenia yang menuduh Ankara berusaha mengingkari tanggung jawab Kesultanan Ottoman dalam pembantaian etnis Armenia pada 1924, yang ditaksir menewaskan hingga 1,5 juta orang.
Meski demikian analis meyakini tafsir nasionalistik terhadap sejarah tidak memupus budaya kehidupan damai antara kedua bangsa selama kekuasaan Uni Soviet.
“Seseorang sebaiknya mencetak ulang naskah Perjanjian Persahabatan 1724 di era Persia dan ditandatangani oleh penguasa Karabakh dari Armenia dan Khan Ganje di Azerbaijan untuk melawan Kesultanan Ottoman,” ujar Tom de Waal, peneliti senior di Carnegie Europe, usai perang mulut antara Aliyev dan Pashinyan dalam Konferensi Keamanan di München.
Baca juga: Paus Fransiskus Sesalkan Gencatan Senjata yang Rapuh Antara Armenia dan Azerbaijan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.