Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Susan B Anthony, Pencetus Hak Pilih Perempuan di Pilpres AS

Kompas.com - 11/10/2020, 16:07 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Belakangan ini publik disuguhi lugasnya calon wakil presiden (cawapres) dari Partai Demokrat Amerika Serikat, Kamala Harris, dalam berdebat dengan cawapres petahana Mike Pence.

Kemampuan adu argumen Kamala Harris dalam berdebat di ajang kampanye pemilu AS memang tidak diragukan lagi.

Namun untuk bisa sampai pada keadaan saat ini, yakni bisa memilih dan bahkan menjadi salah satu kandidat dalam pemilu, bukan perjuangan yang mudah.

Jangankan menjadi kandidat yang berlaga, untuk mencoblos saja para perempuan tidak punya hak. Keadaan ini masih berlangsung hingga tahun 1920. Sebelumnya, bagi para perempuan di AS, mencoblos adalah ilegal.

Baca juga: Kamala Harris Garang di Debat Cawapres AS, Pamannya Kasihan ke Mike Pence

Sejarah Amerika pun mencatat nama-nama pejuang hak pilih perempuan, salah satunya yaitu Susan B Anthony yang lahir di sebuah kota kecil di Massachusetts, AS, pada 15 Februari 1820.

Anak kedua dari tujuh bersaudara, Susan Brownell Anthony lahir dalam keluarga yang sangat memperhatikan masalah reformasi sosial.

Anthony menjadi aktivis dalam usia yang bisa dibilang sangat muda. Pada usia 16 tahun dia sudah mengumpulkan tanda tangan untuk gerakan menentang perbudakan.

Baca juga: Cawapres AS Dipagari Plexiglass Saat Debat, tapi Belum Aman dari Covid-19

Kecewa kesenjangan gaji akibat gender

Masa kecil Anthony diwarnai kesulitan keuangan dan kebangkrutan keluarganya. Dilansir dari laman museum yang didedikasikan untuk Susan B Anthony, pada tahun 1838 sang ayah yang bernama Daniel memutuskan untuk mengeluarkan Susan dan saudara perempuannya, Guelma, dari sekolah tempat mereka belajar.

Hanya setahun sebelumnya yakni dalam depresi tahun 1837, keluarga itu dinyatakan bangkrut dan harus kehilangan rumah keluarga di Battenville.

Pada tahun 1826 keluarganya pindah ke Negara Bagian New York. Keluarga ini rutin menggelar pertemuan mingguan bagi para aktivis lokal, termasuk pejuang abolisionis Afrika-Amerika yang terkenal seperti Frederick Douglass.

Anthony mulai bekerja di bidang pendidikan dan menjadi kepala sekolah. Tetapi ia tidak bahagia karena menerima gaji yang jauh lebih rendah daripada rekan prianya di posisi yang sama.

Pada tahun 1848, Konvensi Nasional Hak-Hak Perempuan pertama di Amerika Serikat diadakan di Seneca Falls, New York.

Hasilnya adalah sebuah deklarasi yang memuat 18 poin terkait ketidakadilan terhadap perempuan dan menuntut agar perempuan diberikan semua hak dan keistimewaan yang dimiliki laki-laki.

Baca juga: Seekor Lalat Hinggap di Kepala Wapres AS Saat Debat dengan Kamala Harris

Susan B Anthony (kiri) bersama sahabatnya sesama pejuang hak-hak perempuan Elizabeth Cady Stanton (kanan).EVERETT COLLECTION via DW INDONESIA Susan B Anthony (kiri) bersama sahabatnya sesama pejuang hak-hak perempuan Elizabeth Cady Stanton (kanan).
Pemilih ilegal dan didenda

Salah satu penggagas konvensi tersebut adalah Elizabeth Cady Stanton. Dia dan Susan B Anthony kemudian bertemu pada tahun 1851 dan menjadi teman dekat serta sahabat dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Tahun 1869 dia dan Stanton mendirikan National Woman Suffrage Association, yang memperjuangkan hak-hak perempuan agar mempunyai hak pilih dalam pemilu. Organisasi ini kemudian bergabung dengan American Woman Suffrage Association pada tahun 1890.

Dalam pemilu pada November 1872, Anthony nekat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.

Atas pelanggaran ini, dia bersama tiga orang saudara perempuannya dan sejumlah perempuan lainnya, ditangkap dan didakwa karena melanggar undang-undang negara bagian. Oleh pengadilan,ia didenda sebesar 100 dolar. Anthony tidak pernah mau membayarnya.

Baca juga: Pilpres AS: Apakah Diperlukan Yesus untuk Memenangkannya?

Persidangan tersebut ternyata mendapatkan publikasi besar-besaran dan memberikan panggung yang ia butuhkan agar tuntutan kaum perempuan didengar luas.

Anthony kemudian mendedikasikan hidupnya berkampanye untuk amendemen konstitusi yang menjamin hak perempuan dalam memilih.

Dia melakukan perjalanan ke seantero AS, memberikan ratusan pidato dalam setahun. Dia juga melakukan perjalanan ke luar negeri, termasuk Berlin pada tahun 1904, di mana dia mendirikan International Suffrage Alliance (IWSA) bersama para perempuan dari seluruh dunia.

Berawal dari isu kecanduan alkohol

Tahun 1850-an penyalahgunaan alkohol menjadi masalah utama di berbagai wilayah di AS. Pembatasan alkohol pun jadi tema utama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Pada masa itu, undang-undang memberikan kendali penuh atas keuangan keluarga kepada para suami.

Kecanduan alkohol di antara kaum laki-laki makin lama makin mengkhawatirkan. Kondisi keuangan di banyak keluarga pun terancam karena sangat sedikit perempuan yang diizinkan untuk bekerja.

Baca juga: Usai Debat dan Terinfeksi Covid-19, Trump Makin Tercecer Jauh dari Joe Biden di Survei Pilpres AS

Tahun 1853, ketika Anthony berencana untuk berbicara di konvensi negara bagian untuk melarang konsumsi alkohol, sekelompok laki-laki menghadangnya dan melarangnya berbicara.

Mereka mengatakan bahwa delegasi perempuan hanya diperbolehkan ada di sana untuk mendengarkan dan belajar, bukan untuk berbicara. Anthony pun meradang.

Bersama rekannya yaitu Stanton membuat petisi untuk adanya undang-undang yang membatasi penjualan alkohol di New York.

Namun petisi itu ditolak mentah-mentah karena sebagian besar, yaitu sekitar 28.000 orang yang menandatanganinya adalah perempuan. Dia dan Stanton juga menerbitkan koran yakni The Revolution.

Koran ini cukup radikal pada masanya, antara lain memuat argumen untuk kesetaraan hak dan upah bagi perempuan dan laki-laki. Ia juga mendorong para perempuan pekerja untuk membuat persatuan pekerja tersendiri karena mereka tidak diterima bergabung dengan rekan kerja mereka yang laki-laki.

Baca juga: Bagaimana Nasib Pilpres AS jika Trump Meninggal atau Tak Bisa Memimpin?

Penghargaan setelah kepergiannya

Meski telah melewati perjuangan panjang, semasa hidupnya Anthony belum pernah melihat kaum perempuan memiliki hak untuk memilih dalam pemilu di AS.

Susan B Anthony meninggal dunia pada usia 86 tahun karena pneumonia di rumahnya di Rochester, New York, pada 13 Maret 1906.

Beberapa tahun kemudian yakni pada tahun 1920, hak perempuan yang telah berusia 21 tahun di Amerika Serikat untuk memilih pun dijamin dengan adanya Amendemen ke-19.

Amendemen ini dikenal sebagai Amendemen Susan B Anthony guna menghormati perjuangannya.

Kemudian, pada 10 Oktober 1978 kongres AS menyetujui penerbitan koin bergambar Susan Be Anthony untuk memberikan penghargaan atas perjuangannya.

Baca juga: Pilpres AS 2020: Siapa Capres Idaman China, Iran, dan Rusia?

Baru pada Agustus 2020, Presiden AS Donald Trump mengatakan akan memberi pengampunan atas putusan pengadilan yang mewajibkan Anthony membayar denda 100 dolar AS karena memberikan suaranya di tahun 1872.

Sejumlah kalangan menuduh Trump mempertimbangkan pemberian pengampunan hanya untuk mencari simpati di kalangan pemilih perempuan.

Namun Anthony, semasa hidupnya, memang sudah memutuskan untuk tidak akan pernah membayar denda itu, yang membuat kasusnya kian banyak dibicarakan publik.

Menurut kabar, Anthony justru bangga. Semakin banyak orang yang berbicara tentang masalah perempuan, semakin berkurang pengabaian dan tabu yang menyelubungi hak-hak mereka.

Baca juga: Rekam Jejak Amien Rais, 2 Kali Bikin Partai hingga Kalah Pilpres 2004

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

Global
[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

Global
Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Global
Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Global
Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Global
Wanita Ini Didiagnosis Mengidap 'Otak Cinta' Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Wanita Ini Didiagnosis Mengidap "Otak Cinta" Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Global
Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Global
Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Global
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Global
Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Global
Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Global
Bandung-Melbourne Teken Kerja Sama di 5 Bidang

Bandung-Melbourne Teken Kerja Sama di 5 Bidang

Global
Mengenal Batalion Netzah Yehuda Israel yang Dilaporkan Kena Sanksi AS

Mengenal Batalion Netzah Yehuda Israel yang Dilaporkan Kena Sanksi AS

Global
Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Internasional
Taiwan Akan Singkirkan 760 Patung Pemimpin China Chiang Kai-shek

Taiwan Akan Singkirkan 760 Patung Pemimpin China Chiang Kai-shek

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com