Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raja Salman Kritik Habis-habisan Iran dalam Pidatonya di Sidang Umum PBB

Kompas.com - 24/09/2020, 18:53 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber Al Jazeera

RIYADH, KOMPAS.com - Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz kritik habis Iran selama pidatonya pada Rabu (23/9/2020), di pertemuan tahunan para pemimpin dunia PBB.

Salman menyerukan solusi komprehensif untuk menahan saingan Riyadh tersebut dan menghentikannya mendapatkan senjata pemusnah masal.

Melansir Al Jazeera pada Rabu (23/9/2020), dia mengatakan bahwa Iran mengeksploitasi kesepakatan nuklir 2015 dengan kekuatan dunia "untuk mengintensifkan kegiatan ekspansionisnya, menciptakan jaringan terorisnya, dan menggunakan terorisme".

Ia mengatakan bahwa dengan menambahkan kegiatan eksploitasi tidak akan menghasilkan apa pun, kecuali "kekacauan, ekstrimisme, dan sektarianisme."

Solusi komprehensif dan posisi internasional yang tegas dibutuhkan," katanya kepada 193 anggota Sidang Umum dalam video pidato.

Baca juga: Apakah Arab Saudi Melunakkan Pendiriannya untuk Normalisasi dengan Israel?

"Pengalaman kami dengan rezim Iran telah mengajari kami bahwa solusi parsial dan peredaan tidak menghentikan ancamannya terhadap perdamaian dan keamanan internasional," ujarnya.

Juru bicara misi Iran di PBB, Alizera Miryousefi menolak tuduhan Raja Salman yang disebutnya sebagai "tuduhan tidak berdasar".

"Pernyataan tidak konstruktif dan tidak beralasan oleh pemimpin Saudi hanya memperkuat kekuatan tertentu yang berniat menabur perselisihan antara negara-negara kawasan dengan tujuan menciptakan perepecahan permanen dan menjual lebih banyak senjata mematimkan ke kawasan," kata Miryousefi yang menyindir Amerika Serikat (AS).

Arab Saudi yang mayoritas Muslim Sunni dan Iran didominasi Syiah, terkunci dalam situasi perang proksi di wilayahnya, meliputi di Yaman, di mana koalisi yang dipimpin Saudi berperang melawan gerakan Houthi yang berpihak pada Teheran selama 5 tahun.

Raja Salman (84 tahun), mengatakan bahwa Timur Tengah telah menderita tantangan politik dan keamanan utama, dan menyalahkan Iran atas sebagian besar ketidakstabilan kawasan negaranya.

Dia juga menuduh kelompok Hezbollah yang didukung Iran di Lebanon menyebarkan kekacauan politik yang pada akhirnya disalahkan atas ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut bulan lalu.

"Organisasi teroris ini harus dilucuti," kata raja.

Baca juga: Setelah UEA dan Bahrain, Trump Berharap Arab Saudi Berdamai dengan Israel

Kekuatan jahat

Hillary Mann Leverett, mantan pejabat AS dan CEO konsultan risiko politik, STRATEGA, mencatat bahwa Raja Salman yang menyoroti tentang Iran dengan frasa "kekuatan jahat", memberikan kesan tambahan bahwa Arab Saudi masih sensitif tentang serangan "tak terjawab" terhadap fasilitas minyak kerajaannya pada tahun lalu, yang menyalahkan Teheran.

"Itu terus menjadi titik yang menyakitkan dan harus diartikulasikan oleh raja Arab Saudi, sebelum seluruh dunia menunjukkan kepentingan raja masih melekat pada bagaimana Amerika Serikat menangani Iran dan kebijakannya di wilayah tersebut," kata Mann Leverett kepada Al Jazeera.

"Ini adalah pertanyaan tentang apakah pemerintahan Trump benar-benar akan membela mereka (Arab Saudi), jika sesuatu yang lebih buruk terjadi pada mereka," tambahnya.

Membaca dari selembar kertas dan duduk di meja di bawah potret besar ayahnya, Raja Salman menegaskan kembali peran sakral Islam di Arab Saudi, yang diyakini umat Islam telah diturunkan kepada Nabi Muhammad lebih dari 1.400 tahun yang lalu di gua-gua pegunungan. Mekah.

Baca juga: Pembunuhan Khashoggi, 29 Negara Kecam Arab Saudi

Dia menahan diri untuk tidak mengkritik kesepakatan baru-baru ini yang dibuat oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Israel.

Namun, dalam upaya untuk menengahi perdamaian antara Israel dan Palestina, raja Saudi mengatakan inisiatif perdamaian Arab 2002 adalah dasar untuk "solusi komprehensif dan adil" yang memastikan Palestina mendapatkan hak sebagai negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.

"Kami mendukung upaya pemerintah AS saat ini untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah dengan membawa Palestina dan Israel ke meja perundingan untuk mencapai kesepakatan yang adil dan komprehensif,” kata Salman.

Baca juga: Kurangi Penggunaan Kertas, Arab Saudi Uji Coba Registrasi Pernikahan Lewat Online

Penolakan nyata

Arab Saudi, tempat kelahiran Islam dan situs tempat suci paling suci, menyusun inisiatif pada 2002, di mana negara-negara Arab menawarkan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas kesepakatan kenegaraan dengan Palestina dan penarikan penuh Israel dari wilayah yang direbut pada 1967.

Para pemimpin Palestina mengutuk hubungan UEA dan Bahrain yang menghangat dengan Israel, menggambarkannya sebagai pengkhianatan atas upaya mereka untuk memenangkan status kenegaraan di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki.

Mann Leverett mencatat ada laporan tentang perbedaan dalam keluarga kerajaan, terutama antara Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, tentang apakah Arab Saudi akan mengikuti seperti pihak lainnya di wilayah Timur Tengah dan menormalkan hubungan dengan Israel.

"Jadi, ini adalah kesempatan untuk publik di depan dunia menegaskan kembali posisi lama Arab Saudi...bahwa perlu ada 2 negara, yang salah satunya adalah negara merdeka Palestina dengan ibukotanya, Yerusalem Timur," ujar
Mann Leverett.

Palestina sebagai negara merdeka adalah penegasan kembali yang jelas dari pendirian Arab Saudi, dan penolakan nyata terhadap upaya saat ini untuk mendorong negara-negara Arab agar menjadi normal dengan Israel.

"Itu sangat penting," katanya.

Baca juga: Buku Ini Ungkap Kelihaian MBS Menangkan Hati Trump Sehingga Jadi Putra Mahkota Arab Saudi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Al Jazeera
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com