OSLO, KOMPAS.com - Hubungan diplomatik antarnegara sering mengalami pasang surut, seperti yang terjadi di sejumlah negara Barat yang dilaporkan bersitegang dengan China.
Norwegia adalah salah satu negara yang pernah mengalami hubungan memanas dengan China, salah satu negara adidaya dunia.
Ketika Komite Nobel Norwegia menghadiahkan Nobel Perdamaian 2010 kepada seorang pembangkang politik terkenal China Lu Xiaobo, hubungan Norwegia dengan China langsung membeku.
Baca juga: India Blokir PUBG, China Marah-marah Lagi
Padahal Norwegia adalah negara Barat pertama yang mengakui China pimpinan Partai Komunis dan keduanya membangun hubungan diplomatik di tahun 1950.
Kebekuan hubungan berlangsung selama enam tahun, sampai akhirnya hubungan pulih kembali di tahun 2016.
Sepuluh tahun kemudian di tahun 2020, Australia mengalami masalah yang sama dengan China, setelah Australia menyerukan adanya penyelidikan mengenai asal muasal virus Covid-19, yang pertama kali diketahui menyebar di kota Wuhan di China.
Baca juga: Konflik Perbatasan China-India Berkepanjangan, Panglima India: Bisa Selesai dengan Pembicaraan
Namun pejabat di Norwegia sebenarnya tidak bisa melakukan apa pun mengenai pemenang Nobel.
Anggota Komite Nobel Norwegia memang diangkat oleh pemerintah namun keputusan mereka bersifat independen.
Dua hari setelah mengeluarkan ancaman, China membatalkan perundingan perdagangan bebas dengan Norwegia dan dua bulan kemudian membatasi impor ikan salmon dari Norwegia.
Baca juga: Norwegia Bantah Salmon yang Mereka Ekspor ke China Sebagai Sumber Covid-19 di Beijing
Di tahun keempat pembekuan hubungan diplomatik, Norwegia, negara penghasil salmon terbesar di dunia, langsung mengalami penurunan pangsa pasar hingga 70 persen dari China.
Pejabat China memperkuat aturan karantina dan pembatasan impor salmon dari Norwegia dan membatasai lisensi impor yang dikeluarkan.
"Partai Komunis China penuh perhitungan dalam mencari sasaran komoditi yang dibatasi, tidak pernah mencari sasaran komoditi yang mempengaruhi kepentingannya sendiri," kata Emilia Currey, peneliti dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI).
"Sebagai contoh, barley (jelai) jadi sasaran untuk Australia, kemudian ternak sapi, dan bukannya biji besi atau wool padahal jumlah perdagangannya hampir sama."
Dia mengatakan China cenderung mencari ekspor yang penting dari sebuah negara sebagai identitas negara tersebut.
Sebagai contoh dalam perseteruan dengan Korea Selatan di tahun 2016 berkenaan dengan sistem pertahanan rudal, China melarang bintang pop Korea Selatan muncul di televisi China dan bintang K-pop juga dilarang tampil dan mengadakan tur.
"Ketika Partai Komunis China (CCP) mencari sasaran komoditi, mereka mencari sasaran terhadap komoditas yang berpengaruh langsung pada kehidupan negara bersangkutan," ujar Emilia.
Baca juga: PBB Layangkan Surat Kritik untuk China Patuhi Hukum HAM Internasional
Di tahun 2014, Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg memutuskan untuk tidak bertemu Dalai Lama, yang juga pernah mendapat hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1989.
Keputusan itu menandai untuk pertama kalinya seorang pemimpin Norwegia menolak bertemu dengan tokoh kemerdekaan Tibet tersebut..
Beijing memandang Dalai Lama sebagai tokoh separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Tibet, tapi PM Solberg juga membantah jika ia melakukannya karena mendapat tekanan dari China.
"Kami tahu bahwa bila kami melakukannya, kami akan tetap dalam pembekuan hubungan lebih lama lagi," kata PM Solberg waktu itu.
Baca juga: Hadang Pengaruh China, Palau Minta AS Bangun Pangkalan Militer
Akhirnya setelah enam tahun, Norwegia bisa menormalkan hubungan kembali dengan China di tahun 2016 dengan kedua negara menandatangani pernyataan bersama.
Pernyataan itu mengakui bahwa Nobel Perdamaian 2010 menjadi sumber masalah dan pemerintah Norwegia menegaskan "komitmen kebijakan satu China" dan "kedaulatan dan integritas wilayah" China.
Mereka juga setuju untuk tidak mendukung tindakan yang bisa memengaruhi "kepentingan utama" China, istilah yang digunakan Beijing untuk menggambarkan berbagai hal, seperti penahanan masal warga Uighur di Xinjiang dan kebijakan yang semakin menekan di Hong Kong.
Artinya, China bisa saja melakukan tindakan yang sama lagi di masa depan bila Hadiah Nobel diberikan kepada salah seorang pembangkang pemerintah.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi pernah ditanya mengenai kemungkinan tersebut ketika dia mengunjungi Norwegia bulan lalu.
"China selalu menolak semua usaha dari siapa saja untuk mempolitisir Hadiah Nobel Perdamaian dan campur tangan dalam urusan dalam negeri China," kata Wang kepada wartawan.
Baca juga: Desain Baru Paspor Taiwan: Membesarkan Taiwan, Menciutkan Republik China
Sebuah laporan baru yang dikeluarkan minggu ini oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) merinci apa yang sebut "diplomasi tekanan" yang dilakukan Beijing terhadap negara lain dan perusahaan asing.
Lembaga konsultan itu mengatakan, Partai Komunis China menerapkan berbagai kebijakan menekan terhadap negara lain termasuk melakukan ancaman dan pembatasan di bidang perdagangan, turisme dan kontak diplomatik.
Penahanan tanpa alasan jelas, bahkan eksekusi mati terhadap warga asing di China termasuk bentuk tekanan yang disebut dalam laporan.
Pemerintah Australia sudah mengeluarkan peringatan perjalanan ke China bulan Juli dengan peringatan jika warga Australia bisa saja ditahan tanpa alasan jelas.
ASPI mengatakan, China menggunakan kebijakan "tekanan" sebanyak 152 kali sejak tahun 2010, terhadap 27 negara, termasuk Uni Eropa.
Laporan tersebut mengatakan adanya peningkatan penggunaan kebijakan tersebut sejak tahun 2018.
Baca juga: Pentagon: China telah Memiliki Kekuatan Angkatan Laut Terbesar di Dunia
"Pola yang dilakukan hampir sama," kata Emilia Currey, penulis laporan sekaligus peneliti di ASPI.
"Awalnya dimulai dengan ancaman yang dikeluarkan negara dan bila tindakan itu tidak dihentikan oleh negara sasaran, maka pembatasan perdagangan akan dilakukan, atau pembatasan kedatangan turis atau investasi, dan berlangsung sampai negara itu mengubah kebijakannya."
Lembaga itu menyarankan, semua negara yang menghadapi tekanan dari China bersama-sama bersatu dalam berbagai forum internasional dan kompak menghadapi China.
Tindakan yang bisa dilakukan antara lain mengeluarkan pertanyaan bersama, sanksi ekonomi atau pembatasan perjalanan.
Lembaga pemikir itu juga menyarankan, agar Aliansi Intelejen Five Eyes yang terdiri dari Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat bisa membentuk pakta keamanan ekonomi bersama.
Artinya, jika China melakukan tekanan terhadap salah satu negara mitra, maka bisa melakukan aksi ekonomi atau diplomatik terhadap China.
Baca juga: Ilmuwan Rusia Sebut Pengobatan Covid-19 Buatan China Menjanjikan
Laporan itu juga memperingatkan kepada para pelaku usaha untuk mulai memikirkan risiko melakukan bisnis di China, melihat Beijing semakin sering menggunakan tekanan belakangan ini.
"Memperbaiki hubungan tidaklah memberi jaminan ini tidak akan terjadi lagi di masa depan," kata Emilia.
Ketika ditanya mengenai sanksi yang diterapkan China bulan Juni, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, pemerintah tidak ingin cepat memperbaiki hubungan dengan mengorbankan prinsip yang ada.
"Kami adalah negara yang menganut perdagangan terbuka. Saya tidak mau mengorbankan nilai ini menghadapi tekanan yang datang dari siapa saja," katanya.
Namun akademisi University of Melbourne, Sow Keat Tok memperingatkan agar Australia berhati-hati, setelah melihat kasus terbaru penahanan wartawan Australia, Cheng Lei di Beijing.
"Ini tindakan balas membalas, dan kita tidaklah mau ini meningkat lebih buruk dari sekarang, jadi akan bermanfaat bila Canberra menurunkan tensi dalam pernyataan mereka," katanya kepada ABC.
Dr Tok mengatakan, bukan berarti Australia harus takut menghadapi China tapi berhati-hati dalam keterlibatan dengan diplomasi lewat pernyataan saling menyerang di media.
"Kita memang harus berhati-hati dalam berhubungan dengan China. Saya kira kita tidak harus mengorbankan nilai kita dengan melakukan diplomasi diam-diam."
Baca juga: Curigai Jadi Lokasi Perekrutan Mata-mata, Pusat Budaya China di AS Akhir Tahun Semua Ditutup
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.