PATTANI, KOMPAS.com - "Aku pamit, istriku tersayang, pertama kali untuk sekolah ke luar negeri demi melestarikan agama dan bangsa yang kita cintai."
"Sekarang aku lanjut belajar di Bang Kwang, dan karena aku belum lulus, para guru tidak mengizinkan kami untuk putuskan pendidikan kami. Setelah kami lulus, kami dapat kembali dan mengajar anak-anak untuk mempersiapkan masa depan".
Demikian pesan-pesan dalam surat Haji Sulong bin Abdul Kadir yang juga dikenal sebagai Haji Sulong Tomina atau Haji Sulong, seorang pemimpin spiritual dan politik yang berpengaruh di Pattani, Thailand selatan.
Baca juga: Seorang Aktivis Wanita Robek Al Quran, Demo Anti-Islam Berujung Ricuh di Oslo
Surat itu dituliskan pada 25 Agustus 1950 saat ia berada di Lapas Pusat Bang Kwang di Nonthaburi Utara Bangkok, Thailand.
Lembaran surat tua berwarna kecoklatan itu adalah salah satu dari puluhan surat yang dia tulis untuk keluarganya selama di penjara, setelah dituduh menghasut pemberontakan separatis, antara tahun 1948-1952, menyusul pengajuan proposal berisi tujuh poin kepada pemerintah Thailand untuk mengupayakan otonomi terbatas dan identitas budaya Muslim Melayu Pattani.
Seorang cucu dari Haji Sulong menunjukkan kepada BBC Thai surat-surat berbahasa Thai kuno ini.
Dia meminta sesama tahanan politik untuk menuliskannya untuknya karena dia tidak berbicara atau menulis dalam bahasa Thailand. Setiap surat yang keluar dibaca dan disaring oleh petugas penjara sebelum dikirim.
Setelah berjalan beberapa langkah dari Jalan Ramkomut di tengah kota tua Pattani yang ramai, kami mencapai sebuah rumah tua yang terletak di tengah ketenangan. Ini adalah kediaman Haji Sulong yang beberapa tahun lalu direnovasi dan kembali ke kondisi semula.
Rumah itu memiliki tempat khusus dalam sejarah karena di sanalah ia menulis proposal berisi tujuh poin, yang menurut seorang akademisi sejarah lokal, berfungsi sebagai landasan gerakan yang menyerukan kebebasan budaya bagi umat Islam di empat provinsi di bagian paling selatan Thailand.
Sebuah masjid yang berdiri tidak jauh dari sana, yang dia bantu bangun, sebelumnya adalah sekolah agama Islam pertama di negara itu.
Baca juga: Turki Tunjuk 3 Imam untuk Masjid Agung Hagia Sophia, Salah Satunya Profesor Hukum Islam
Pada hari itu, dia dan putra tertuanya serta sejumlah rekannya diduga diculik dan kemudian dibunuh oleh petugas keamanan di dekat Danau Songkhla.
Warisan politik dan sosial Haji Sulong terlihat jelas bahkan hingga 66 tahun sejak hari penghilangan paksanya.
Perjuangan dan pengorbanannya yang penuh semangat tertuang kembali di spanduk-spanduk yang menghiasi berbagai jalanan setempat dan di lembaga-lembaga pendidikan, ketika generasi muda Muslim bersatu menyerukan kepada pihak berwenang, untuk bertindak melawan penghilangan paksa dan pembunuhan di luar hukum terhadap aktivis politik yang diduga dilakukan oleh aparat negara.
BBC Thai berbicara dengan anak dan cucu dari keluarga Tomina untuk memahami kehidupan dan pemikiran almarhum pemimpin spiritual Muslim.
Bagaimana Haji Sulong tetap relevan dengan populasi Muslim? Apa saja warisan yang dia tinggalkan?
Baca juga: Tak Terima Seruan Reformasi, Loyalis Monarki Thailand Gelar Aksi Tandingan
"Sebenarnya, dia sama sekali tidak memimpin gerakan (separatis). Satu-satunya fokusnya adalah mendidik masyarakat. Dia prihatin ketika melihat orang-orang tidak secara serius memahami esensi Islam."
Den Tomina, putra ketiganya yang berusia 86 tahun, seorang politisi Muslim senior utama dari Thailand Selatan, menceritakan karya ayahnya dari ingatan dan kisah-kisah yang diceritakan oleh orang-orang yang dekat dengannya.
Pada tahun 1927, Haji Sulong kembali ke Thailand setelah ziarah ke Mekkah. Dia mendapati Muslim di Pattani berada di bawah pengaruh spiritualisme dan menyimpang dari ajaran Islam sehingga dia memulai berdakwah.
Dia mengundang masyarakat lokal untuk memahami dan menerima Islam melalui dialog dan teknik-teknik lainnya di Pattani dan provinsi-propinsi terdekat lainnya, yaitu Yala dan Narathiwat.
Den berkata bahwa satu-satunya impian ayahnya saat itu adalah "membantu Muslim lokal untuk memahami Islam dan berhenti mempraktikkan spiritualisme."
Baca juga: Demo Besar di Thailand Libatkan Anak Muda, Apa Pemicunya?
Pada tahun 1929, Haji Sulong mempertimbangkan sebuah gagasan untuk mendirikan sekolah agama Islam pertama di Thailand.
Dia memutuskan untuk tidak membangun sebuah madrasah karena dia lebih memilih sekolah yang tidak hanya fokus pada pendidikan Islam, tetapi juga yang menawarkan pendidikan normal yang mencakup sosial ekonomi.
Membangun sekolah itu diperkirakan menelan biaya sekitar 7.000 Baht. Sebanyak 3.000 Baht di antaranya akan berasal dari Phraya Phahon Pholphayuhasena, pemimpin revolusi tahun 1932 yang menggulingkan Raja Rama VII dan merupakan perdana menteri kedua Thailand di bawah pemerintahan sipil setelah kudeta.
"Sekolah Madarasah Al Maarif Al Wataniah Fatani" menerapkan sistem yang relatif modern dan segera menjadi tempat berkumpul yang memainkan peran penting dalam membangun rasa hormat dan keyakinan seputar Haji Sulong di antara Muslim Melayu setempat.
Ketidakpercayaan yang mengakar dan bagaimana kebijakan nasionalis mencekik Muslim Melayu
"Saat itu, seseorang yang sangat dihormati di antara umat Muslim setempat akan dilihat oleh pihak berwenang sebagai ancaman."
Baca juga: Sudan Cabut Syariat Islam, Non-Muslim Boleh Minum Miras, Hukum Cambuk Ditiadakan
Penjelasan ringkas Den Tomina menggambarkan kondisi politik yang genting pada saat ayahnya menjadi suara terdepan pada komunitas Muslim.
Ketika Panglima Tertinggi Plaek Pibulsongkhram menjadi Perdana Menteri (masa jabatan pertama 1938-1944), pemerintahnya memperjuangkan kebijakan Pembangunan Bangsa yang kontroversial dengan menyebarluaskan belasan pengumuman.