KOMPAS.com - Tanpa hingar bingar Israel menunda rencana aneksasi Tepi Barat Yordan. Penyebabnya adalah wabah corona yang memicu krisis politik. Vakumnya hal itu membuka ruang bagi satu solusi lain untuk masa depan Palestina.
Perhatian dunia terpaku ke arah Tepi Barat Yordan pada 1 Juli silam, ketika Israel berencana akan menjalankan fase pertama peta jalan damai yang diusulkan Presiden AS Donald Trump, yakni menduduki Lembah Yordania.
Namun apa daya, rencana itu tergerus oleh masalah lain yang lebih mendesak. Pada 1 Juli lalu, ketika Israel akan aneksasi Palestina, gelombang kedua wabah corona di Israel mulai mengganas, dengan mencatat angka kematian tertinggi sejak awal pandemi.
Pada hari itu sebanyak 1.013 warga tercatat positif mengidap virus corona. Kini angka penularan sudah mencapai 2.000-an kasus per hari.
Baca juga: Sebut Ilegal, Jerman Tolak Rencana Aneksasi Israel di Tepi Barat
Oleh karenanya, Menteri Luar Negeri israel, Gabi Ashkenazi mengakui rencana aneksasi “sedang tidak diagendakan saat ini,” ujarnya seperti dikutip kantor berita DPA, Minggu (21/7/2020).
“Kami katakan sebelumnya, tanggal 1 Juli bukan tanggal sakral. Apa yang sakral adalah negara Israel dan keamanannya,” kata Ashkenazi dalam sebuah wawancara dengan harian Yediot Ahronot.“Kami tetap berpegang pada posisi kami,” imbuhnya.
“Saat ini (aneksasi Palestina) tidak ada di dalam agenda pemerintah, tidak ada diskusi atau rapat konsultasi. Kami semua berkomitmen menyelamatkan ekonomi dan menanggulangi penyakit ini," ujar Ashkenazi seraya menambahkan bahwa pemerintah sedang “tidak berniat” membahas kelanjutan rencana aneksasi.
Baca juga: Jika Israel Caplok Tepi Barat, Palestina Peringatkan Bakal Ada Intifada
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu sendiri lebih banyak bungkam. Di tengah wabah Covid-19 yang kian mengganas, dia masih menjalani proses pengadilan seputar dakwaan kasus korupsi.
Baru pada Minggu (20/7/2020) lalu pengadilan di Yerusalem menunda proses peradilan hingga Januari 2021.
Netanyahu belakangan banyak dihujani kritik seputar kinerja pemerintahannya dalam menanggulangi wabah.
Pada Sabtu lalu (19/7/2020) ratusan orang berdemonstrasi di depan kediaman perdana menteri, sementara ribuan lain menuntut bantuan ekonomi saat menggelar aksi di pantai Tel Aviv.
Dengan angka populasi yang berjumlah 9 juta penduduk, Israel hingga kini mencatat lebih dari 50.000 kasus penularan virus corona dengan 430 kasus kematian.
Gelombang kedua diyakini berawal Mei lalu, ketika pemerintah mulai melonggarkan aturan pembatasan sosial dan karantina.
Baca juga: Israel Lega Investigasi Kejahatannya di Palestina Ditunda
Saat itu Netanyahu secara antusias meminta warga agar keluar rumah dan singgah di kedai minum.
Menurut laporan kantor berita DPA, PM Israel itu berseloroh betapa Israel termasuk negara elit di dunia yang berhasil meredam krisis wabah virus corona.
Namun ketika angka penularan mulai meningkat pada bulan Juni, Netanyahu memilih berdiam diri.
Dia baru tampil ke depan publik menjelaskan rencana pemerintah meredam gelombang kedua wabah pada 3 Juli lalu, lapor lembaga penyiaran Jerman, ARD.
“Pesta kemenangan dirayakan secara prematur,” kata Professor Arnon Afek, bekas Direktur Jendral Kementerian Kesehatan. Pelonggaran karantina dilakukan “terlalu cepat,” imbuhnya kepada DPA, Minggu (20/7).
Baca juga: Ancam Israel agar Tak Caplok Tepi Barat, Hamas Uji Coba Roket
Peta jalan damai yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Benjamin Netanyahu memberikan hak bagi Israel untuk menguasai 30 persen wilayah Tepi Barat Yordan.
Wilayah tersebut antara lain mencakup kantung pemukiman Yahudi dan sebuah lembah sepanjang sekitar 100 kilometer yang membelah Palestina dan Yordania.
Rencana itu dikecam karena diyakini ikut menamatkan riwayat solusi 2 negara. Pergeseran patok perbatasan di Tepi Barat membuat wilayah Palestina terpecah dan sepenuhnya berada di dalam wilayah Israel.
Perubahan geopolitik di Tepi Barat memberikan angin segar bagi kemunculan gagasan lain ihwal masa depan Palestina, yakni solusi satu negara dua bangsa.
Konsep tersebut menempatkan warga Israel dan Palestina dengan hak yang setara di bawah satu bendera.
Ide ini mendapatkan momentum saat kembali diusulkan oleh Peter Beinart, seorang kolumnis Yahudi di AS.
Baca juga: Mengapa Banyak Warga Yahudi Ingin Menetap di Tepi Barat?
Dia dianggap mewakili kaum muda Yahudi Amerika yang kian progresif, dan lebih kritis terhadap kebijakan Israel ketimbang generasi pendahulu.
Beinart mengajak kaum Zionis liberal agar melupakan solusi “pemisahan 2 negara, dan sebaliknya menyambut kesetaraan Palestina dan Israel,” tulisnya.
Editorial di New York Times itu dikabarkan “memicu gelombang kejut” di kalangan Yahudi AS, lapor Associated Press.
Kolumnis muda AS itu tidak sendirian. Di sisi lain, Perdana Menteri Yordania, Omar Razzaz, ikut menyuarakan dukungan bagi konsep negara binasional di antara Lembah Yordan dan laut Mediterania.
“Anda menutup pintu pada solusi dua negara, saya bisa melihat hal ini secara positif, jika kita benar-benar membuka pintu bagi solusi demokratis satu-negara” kata dia kepada harian Inggris, The Guardian, Selasa (23/7/2020).
“Saya tantang semua di Israel untuk mengatakan: Ya. Mari akhiri solusi 2 negara,” pungkasnya.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan