Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CocaCola dan Starbucks Ikut Boikot Iklan di Facebook, bersama 160 Perusahaan Lain

Kompas.com - 29/06/2020, 18:04 WIB
Aditya Jaya Iswara

Penulis

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - CocaCola dan Starbucks bergabung dengan 160 perusahaan lainnya yang memboikot iklan di Facebook, buntut dari kasus ujaran kebencian Donald Trump yang dibiarkan platform media sosial tersebut.

Sebelum CocaCola dan Starbucks, dua merek ternama lainnya yang menarik iklannya dari Facebook adalah Unilever, The North Face, dan Levi Strauss.

Akibat boikot besar-besaran ini nilai perusahaan turun lebih dari 8 persen menjadi sekitar 72 miliar dollar AS (Rp 1 kuadriliun).

Baca juga: Buntut Ujaran Kebencian Trump di Medsos, 9 Perusahaan Boikot Iklan di Facebook

Dilansir dari The New Daily Senin (29/6/2020), Starbucks mengatakan akan menghentikan sementara periklanan di semua platform media sosial, karena menganggap itu cara terbaik untuk membantu menghentikan ujaran kebencian.

Sementara itu CocaCola mengungkapkan, untuk sementara tidak beriklan di Facebook selama sebulan, untuk "menilai kembali kebijakan periklanan kami untuk menentukan apakah diperlukan perubahan".

"Tidak ada tempat untuk rasialisme di dunia dan tidak ada tempat untuk rasialisme di media sosial," kata pimpinan CocaCola Company, James Quincey.

"Kami juga berharap akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dari mitra media sosial kami," lanjutnya dikutip dari The New Daily.

Baca juga: Dibungkam Twitter dan Snapchat, Mulut Pedas Trump Dibiarkan Facebook

Lalu Starbucks pada Minggu (28/6/2020) berujar, akan "melakukan diskusi internal bersama mitra media dan organisasi hak sipil, untuk menghentikan penyebaran ujaran kebencian."

Namun, penarikan iklan sementara oleh Starbucks tidak mencakup YouTube yang dimiliki oleh Google dan Alphabet, demikian laporan CNBC.

Meski Starbucks dan CocaCola menghentikan sementara iklan di Facebook, mereka belum bergabung dengan kampanye boikot "Stop Hate for Profit" yang dimulai awal Juni.

Kampanye itu diluncurkan oleh kelompok-kelompok advokasi, termasuk Anti-Defamation League, National Association for the Advancement of Coloured People, dan Colour of Change.

Gerakan tersebut menuntut Facebook dan bosnya, Mark Zuckerberg, untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap ujaran kebencian dan pelecehan.

Baca juga: Sebar Hoaks 15 Menit di Facebook, Sopir Taksi Singapura Dipenjara

Pada Jumat (26/6/2020) Zuckerberg berkata, Facebook akan berbuat lebih banyak untuk menangani ujaran kebencian.

Dikatakannya, platform media sosial itu juga akan memperluas kebijakannya untuk lebih melindungi imigran, migran, pengungsi, dan pencari suaka dari iklan yang menunjukkan kedudukan mereka lebih rendah, atau yang menghina mereka.

Kampanye "Stop Hate for Profit" muncul usai Facebook tidak menindak unggahan-unggahan Presiden AS Donald Trump terkait kematian George Floyd, yang memicu demonstrasi besar di banyak negara.

Twitter pada Mei menindak Trump dengan melabeli twitnya dengan "cek fakta" serta "glorifikasi kekerasan".

Baca juga: Pertama Kalinya, Twitter Beri Twit Trump Peringatan Cek Fakta

Namun di saat Twitter bergerak, Zuckerberg bergeming dan mengatakan kepada Fox News bahwa Facebook tidak berhak mengaturnya.

Akibatnya, dua pegawai senior Facebook mundur dan boikot iklan pun terjadi.

Baca juga: Twit Trump soal George Floyd Ditandai Glorifikasi Kekerasan oleh Twitter

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com