Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara dari Tepi Barat: Saya Susun 10 Bata Saja, Israel Pasti Akan Menghancurkannya

Kompas.com - 27/06/2020, 06:23 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

"Mestinya hukum Israel berlaku di semua kawasan [Tepi Barat]. Dalam sejarah, tanah ini milik kami. Bagi orang-orang Yahudi, tanah ini sangat penting, kami tak punya tempat di negara lain untuk bermukim," kata Mosawi.

Barazani menambahkan, "Anda tak bisa meminta orang untuk meninggalkan tanah mereka, rumah mereka."

Baca juga: Israel dan AS akan Caplok Tepi Barat, Sekjen PBB: Semoga Tidak Terjadi

Membangun infrastruktur besar-besaran

Selain rumah-rumah bagi warga Yahudi, Israel membangun infrastruktur lain, seperti jembatan besar yang nantinya menghubungkan Yerusalem dengan Efrat dan permukiman-permukiman lain di Tepi Barat selatan.

Banyak yang mengatakan, apa yang diusulkan Presiden Trump tak lebih dari "formalisasi realitas di lapangan", bahwa selama 50 tahun ini Israel melaksanakan pembangunan infrastruktur, yang oleh masyarakat internasional dikatakan ilegal.

"Inilah kisah Tepi Barat dalam 53 tahun terakhir," kata Dror Etkes, direktur lembaga nonpemerintah di Israel yang memantau pembangunan permukiman bagi warga Yahudi.

"Yang dilakukan [Israel] adalah menyita tanah dan memberikannya kepada warga Israel. Itu pertama. Yang kedua, mereka mencegah perluasan komunitas Palestina," kata Etkes

Etkes mengatakan pembangunan yang dilakukan Israel adalah yang terbesar yang pernah mereka lakukan di Tepi Barat dalam dua dekade terakhir.

Mereka membangun jalan, pipa air, sistem penjernihan, dan sistem pembuangan, yang menurut Etkes, membuka pintu lebar-lebar bagi peningkatan jumlah pemukim Israel secara signifikan di masa mendatang.

Satu lembaga kajian di Amerika Serikat memperkirakan, aneksasi 30 persen wilayah Tepi Barat bisa berdampak langsung bagi sekitar 110.000 warga Palestina.

Baca juga: Jika Israel Caplok Tepi Barat, Palestina Akan Umumkan Kemerdekaan

'Kami tak akan menyerah, kami tak ingin jadi pengkhianat'

Saya melanjutkan perjalanan menuju Ramallah, kota yang menjadi kantor pusat Otorita Palestina.

Lembaga ini lahir setelah dicapai Perjanjian Oslo pada 1990-an, salah satu tonggak penting dalam upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, mengatakan Otorita Palestina tak lagi terikat dengan perjanjian yang telah disepakati dengan Israel dan Amerika.

Beberapa pihak khawatir, jika memang ini menjadi kenyataan, akan terjadi kekacauan di Tepi Barat.

Di dalam negeri, terjadi persaingan sengit antara kelompok Fatah pimpinan Presiden Abbas dan Hamas, kelompok yang menguasai Jalur Gaza.

Di Ramallah, saya menghadiri keterangan pers oleh Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh.

"Proses perdamaian telah menemui jalan buntu," kata Shtayyeh.

Ia juga mengatakan kepemimpinan Palestina menghadapi ujian besar.

Saya tanyakan nasib masa depan Otorita Palestina di masa depan.

Ia menjawab, "Ini masalah yang sangat serius. Otorita Palestina bukan hadiah. Ini adalah bentuk mandat dari rakyat Palesrina ... kami tak akan menyerah begitu saja."

Proposal Trump adalah "resep bagi kehancuran negara Palestina".

"Menyetujui usulan Presiden Trump adalah bentuk pengkhianatan dan kami tak ingin menjadi kumpulan para pengkhianat," kata Shtayyeh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com