Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lawan Kritik Penanganan Covid-19, China Kerahkan "Pejuang Serigala"

Kompas.com - 14/05/2020, 22:28 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

BEIJING, KOMPAS.com - Diplomasi China dari dulu dikenal serbarahasia dan penuh teka-teki.

Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, menulis dalam studi seminalnya bertajuk Diplomacy bahwa "diplomasi Beijing sangat halus dan tidak langsung sehingga kami di Washington sulit memahaminya."

Negara-negara Barat mempekerjakan pengamat China untuk menginterpretasikan sinyal-sinyal yang berasal dari politbiro China.

Baca juga: Dituding AS Hendak Mencuri Vaksin Virus Corona, China Merasa Ternodai

Di bawah kepemimpinan mantan Presiden Deng Xiaoping, strategi umum China adalah "sembunyikan kemampuan kita dan tunggu waktu terbaik." Hal itu tidak berlaku lagi sekarang.

China telah mengerahkan sekelompok diplomat yang vokal ke media sosial untuk berbicara berbagai hal dan mereka, terkadang, jujur. Tujuan mereka adalah untuk membela penanganan China atas pandemi virus corona dan menantang orang-orang yang mempertanyakan kronologi versi Beijing.

Mereka rutin berkicau di Twitter dan media sosial lainnya dari kedutaan-kedutaan besar China di seluruh dunia. Mereka lantang, menjawab dengan sarkastis dan agresif. Teknik ini masih baru dan mereka dinamakan "pejuang serigala" atau wolf warrior, sesuai nama sebuah film aksi.

Wolf Warrior dan Wolf Warrior 2 adalah film yang sangat populer yang menampilkan pasukan khusus elite China yang berhadapan dengan tentara bayaran pimpinan AS. Film-film ini menyuguhkan kekerasan dan nasionalisme ekstrem.

Seorang kritikus film mengatakan bahwa film tersebut "seperti Rambo dengan karakteristik China." Poster promosi film tersebut menunjukkan karakter utama mengangkat jari tengahnya dengan slogan: "siapapun yang menyerang China, dari manapun asalnya, harus dihancurkan."

Dalam sebuah tajuk rencana baru-baru ini, surat kabar Partai Komunis China, Global Times, mendeklarasikan bahwa rakyat China "tidak lagi puas dengan nada diplomasi yang lemah" dan negara Barat merasa tertantang oleh diplomasi "Wolf Warrior" baru China.

Baca juga: Pejabat China: Militer AS Bawa Virus Corona ke Wuhan

Bahasa baru

Mungkin "pejuang serigala" terdepan adalah Zhao Lijian, juru bicara muda Kementerian Luar Negeri China. Ia adalah pejabat yang mengemukakan tudingan tanpa substansi bahwa AS mungkin yang membawa virus corona ke Wuhan.

Ia memiliki lebih dari 600.000 pengikut di Twitter dan ia memanfaatkannya dengan terus menerus berkicau, ritwit, atau menyukai konten apa pun yang mempromosikan dan membela China setiap jamnya.

Ini tentunya tugas setiap diplomat di manapun: mereka harus mempromosikan kepentingan nasional negaranya. Namun hanya sedikit diplomat yang memakai bahasa yang tidak diplomatis.

Contohnya kedutaan besar China di India yang mengatakan bahwa tuntutan agar China membayar kompensasi karena menyebarkan virus "konyol dan terang-terangan tidak masuk akal."

Baca juga: Militer AS Dituduh Bawa Virus Corona ke Wuhan, Dubes China Dipanggil

Duta besar China di Belanda menuding Presiden AS Donald Trump "sangat rasis".

Merespons spekulasi obat antivirus corona Trump yang banyak dicela, ketua juru bicara Partai Komunis China di Beijing mengatakan di Twitter: Presiden Trump benar. Beberapa orang memang perlu disuntik #disinfektan, atau setidaknya berkumur dengannya. Dengan begitu mereka tidak akan menyebarkan virus, kebohongan, dan kebencian saat bicara."

Di London, "pejuang serigala" China adalah Ma Hui, orang nomor tiga di Kedubes China di Inggris. Nama akunnya di Twitter mengandung kata warhorse dan ia bisa dikatakan sebagai orang yang tangguh dan produktif.

Salah satu twit-nya mengatakan: "Beberapa petinggi di AS sangat merendahkan dirinya untuk bohong, menyebarkan informasi yang salah, menyalahkan, dan menstigmatisasi [China]. Ini sangat tercela, tapi kami tidak akan menurunkan standar, atau ikut balapan mereka ke level dasar. Mereka tidak peduli terhadap moralitas, integritas, tapi kami peduli. Kami juga bisa melawan kebodohan mereka."

Hal-hal seperti ini terdengar familiar bagi siapa pun yang aktif di media sosial. Namun untuk China, hal ini sangat baru. Menurut data dari lembaga riset German Marshall Fund, jumlah pejabat China yang memiliki akun resmi di Twitter naik 300% dalam satu tahun terakhir, dan jumlah konten mereka naik empat kali lipat.

Baca juga: Trump Sebut Virus Corona sebagai Wabah dari China

Kristine Berzina, periset senior di GMF, mengatakan: "Ini sangat berbeda dari ekspektasi kita soal China. Di masa lalu, wajah publik China biasanya citra positif dari negeri itu. Banyak dorongan untuk berteman dengan China. Video panda yang lucu biasanya lebih mudah ditemukan ketimbang bantahan lantang soal kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Jadi ini sangat berbeda."

Langkah ini jelas disetujui oleh pemerintah China. Mereka bisa saja memusatkan kampanye informasinya ke apa yang disebut "diplomasi masker," terutama soal donasi dan penjualan alat pelindung diri ke seluruh negara di dunia.

Ini berpotensi mempromosikan soft power China di saat negara lain tengah kesulitan. Namun niat baik pemerintah yang terlihat dalam "jalur sutra kesehatan" nampaknya telah digantikan oleh agresi para "pejuang serigala."

Baca juga: CIA Yakin China Halangi WHO Umumkan Virus Corona sebagai Wabah

Ilustrasi bendera China dan Australia.Shutterstock Ilustrasi bendera China dan Australia.

Duta-duta besar yang marah

Duta besar China di Australia, Cheng Jingye, telah beberapa kali terlibat dalam debat panas dengan pejabat di sana. Ketika pemerintah Australia mendukung investigasi internasional independen soal asal muasal virus, Cheng seolah-olah mengatakan China akan memboikot produk-produk Australia.

"Mungkin rakyat biasa akan berkata, 'kenapa kita harus minum anggur Australia atau makan daging sapi Australia?" katanya kepada Australian Financial Review.

Kabinet Australia melihatnya sebagai ancaman "pemerasan ekonomi." Pejabat Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) memanggil Cheng untuk menjelaskan apa maksud perkataannya. Ia merespon dengan menerbitkan detail percakapan di situs Kedubes China, di mana ia mendesak Australia untuk berhenti "bermain politik."

Baca juga: China Ancam Boikot Australia jika Didesak soal Investigasi Asal Usul Covid-19

Minggu ini China menerapkan larangan impor bagi beberapa produsen daging sapi Australia dan mengancam akan menerapkan tarif untuk barley dari Australia.

Di Paris, duta besar China di sana Lu Shaye dipanggil oleh kementerian luar negeri untuk menjelaskan komentarnya di situs Kedubes China yang mengatakan bahwa Perancis telah menelantarkan warga manula sampai mati karena Covid-19 di panti-panti jompo.

Kritik lebih keras terhadap diplomat China datang dari Afrika, di mana sejumlah duta besar-—dari Nigeria, Kenya, Uganda, Ghana, dan Uni Afrika-—dipanggil oleh negara masing-masing dalam beberapa minggu terakhir untuk menjelaskan perlakuan diskriminatif dan rasis yang dialami oleh warga Afrika di China.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nigeria, Femi Gbajabiamila, mengunggah video dirinya protes kepada duta besar China.

Dalam sebuah artikel di majalah Foreign Affairs, Kevin Rudd, mantan Perdana Menteri Australia, mengatakan bahwa China sedang membayar strategi barunya ini: "Apa pun yang dilaporkan generasi baru diplomat 'pejuang serigala' China ke Beijing, kenyataannya posisi China telah dirugikan (ironinya, para pejuang serigala ini yang memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya).

"Reaksi anti-China terhadap penyebaran virus ini, sering kali berbau rasis, telah dilihat di negara-negara seperti India, Indonesia, dan Iran. Soft power China berisiko rusak."

Kerasnya diplomasi China mungkin memperburuk citranya di mata negara-negara Barat, yang makin tidak percaya dan enggan berurusan dengan Beijing.

Baca juga: Australia Minta Asal Usul Virus Corona Diselidiki, China Bekukan Impor Daging

Di Amerika Serikat, China telah menjadi isu penting di pemilihan presiden lantaran kedua calon presiden bersaing untuk menjadi yang paling tangguh. Di Inggris, anggota parlemen dari Partai Konservatif telah bersatu untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan terkait China.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah tensi diplomatik ini akan berevolusi menjadi konfrontasi yang lebih serius antara China dengan Barat. Ini penting bukan hanya karena risiko yang bisa muncul karena eskalasi konflik, namun juga karena banyak aspek yang memerlukan kerja sama dunia.

Dalam jangka pendek, riset, uji coba, pengembangan dan distribusi vaksin Covid-19 akan membutuhkan kerja sama internasional, termasuk China. Dalam jangka panjang, sebagian besar analis memprediksi adanya aksi kolektif global untuk memperbaiki ekonomi dunia. Namun nampaknya hal itu sulit terjadi.

Bonnie Glaser, direktur China Power Project di Centre for Strategic and International Studies di Washington mengatakan: "Jika AS dan China tidak mengesampingkan perbedaannya untuk bersama-sama memerangi pandemi global, sulit rasanya meyakini bahwa mereka akan bekerja sama untuk memperkuat ekonomi mereka."

Beberapa ahli strategi mengatakan, meski Barat akan harus meningkatkan independensi mereka dari China setelah pandemi, Barat juga harus menemukan kerangka kerja sama dengan China. Namun hal itu mungkin dipersulit oleh para diplomat "pejuang serigala."

Baca juga: China Marahi Selandia Baru, Tak Usah Ikut-ikutan Dukung Taiwan di WHO

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com