Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seberapa Parah Krisis di Arab Saudi?

Kompas.com - 14/05/2020, 17:02 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

KOMPAS.com - Arab Saudi dulu terkenal sebagai negara bebas pajak, tapi kini negara kerajaan itu menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 5 persen ke 15 persen dan tidak lagi membayarkan subsidi bulanan biaya hidup mulai Juni.

Keputusan ini diambil setelah harga minyak dunia anjlok hampir 50 persen dibanding harga tahun lalu, yang mengurangi pendapatan pemerintah Arab Saudi sampai 22 persen dan memaksanya menunda beberapa proyek besar.

Laba bersih Saudi Aramco, perusahaan minyak milik pemerintah, jatuh 25 persen pada kuartal pertama tahun ini, terutama karena jatuhnya harga minyak mentah.

"Keputusan ini mencerminkan perlunya Arab Saudi mengurangi pengeluaran dan mencoba menstabilkan harga minyak yang sekarang lemah," kata analis negara-negara Teluk Arab, Michael Stephens.

"Ekonomi Arab Saudi sekarang buruh dan mereka butuh waktu yang tidak sebentar untuk kembali ke normal."

Covid-19 merusak ekonomi Arab Saudi, yang sebagian besar bergantung pada jutaan pekerja migran dengan keahlian rendah dari negara Asia lainnya, dan banyak di antara mereka tinggal di lingkungan padat penduduk yang tidak bersih.

Sementara itu, Putra Mahkota Arab, Muhammad bin Salman, meski masih populer di dalam negeri, kini menjadi momok di Barat yang tetap menduga ia berperan dalam pembunuhan wartawan Arab Saudi, Jamal Khashoggi.

Kepercayaan investor internasional belum sepenuhnya pulih setelah Khashoggi dibunuh dan dimutilasi oleh orang suruhan pemerintah di dalam Konsulat Arab Saudi di Istanbul pada 2018.

Perang di negara tetangga Yaman, yang telah berlangsung selama lebih dari lima tahun, juga turut menipiskan cadangan uang pemerintah meskipun belum diketahui apa keuntungan memenangkan perang tersebut bagi Arab.

Arab juga masih berseteru dengan Qatar, dan itu merenggangkan persatuan Dewan Kooperasi Negara-Negara Teluk Arab (GCC) yang terdiri dari enam negara.

Jadi, seberapa parah krisis di Arab Saudi?

Baca juga: Turki Tuntut 20 Warga Saudi Atas Pembunuhan Jurnalis Jamal Khashoggi

Ketahanan mandiri

Pandemi virus corona telah merusak ekonomi semua negara di dunia, tak terkecuali Arab Saudi.

Arab Saudi juga punya dana kemakmuran pemerintah bernama Dana Investasi Publik (PIF), yang nilainya diperkirakan mencapai 320 miliar dolar AS.

Ia juga masih memiliki Saudi Aramco, perusahaan minyak yang mayoritas sahamnya dimiliki negara, yang nilainya tahun lalu dipatok sebesar 1,7 triliun dolar AS setara nilai gabungan Google dan Amazon saat itu.

Arab Saudi telah menjual saham di Aramco dengan jumlah sangat kecil, 1,5 persen, dan sukses meraup lebih dari 25 miliar dolar AS, penawaran saham perdana terbesar dalam sejarah.

"Arab Saudi punya banyak dukungan untuk ekonominya," kata Sir William Patey, mantan duta besar Inggris untuk Arab Saudi tahun 2007-2010.

"Mereka punya banyak cadangan uang untuk bertahan dan mereka masih bisa keluar dari anjloknya harga minyak kali ini tanpa kehilangan pangsa pasar minyak mereka, bahkan mungkin bertambah."

Ancaman untuk Arab Saudi biasanya datang dari Iran, yang, setidaknya untuk sekarang, telah berkurang menyusul serangan rudal di kilang-kilang minyaknya September lalu dan pembunuhan komandan Garda Revolusi Iran, Qasem Soleimani oleh Amerika Serikat pada Januari lalu.

Bulan ini, Pentagon telah memulangkan baterai rudal Patriot yang dikirim ke Arab Saudi sebagai alat pertahanan darurat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com