Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lockdown Ketat di Filipina Potensi Timbulkan Gejolak Sosial

Kompas.com - 30/04/2020, 07:30 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

MANILA, KOMPAS.com - Filipina merupakan salah satu negara yang menerapkan aturan paling ketat berkaitan dengan virus corona.

Saat ini jumlah kasus positif virus corona di Filipina telah mencapai 8.000 kasus dengan lebih dari 500 kematian.

 

Angka ini memang jauh lebih kecil dibandingkan negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Spanyol atau Italia.

Akan tetapi, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sudah menyampaikan keprihatinan mereka terkait tindakan brutal polisi dalam mengamankan lockdown di Filipina.

Baca juga: Pria Ini Ditembak Mati di Filipina karena Remehkan Aturan Saat Wabah Virus Corona

Lebih dari 30 ribu orang telah ditahan karena melanggar jam malam dan karantina, yang masih akan berlangsung paling tidak selama dua minggu lagi.

Masalahnya, menurut sebuah kelompok HAM, beberapa petugas melakukan tindakan terlalu berlebihan saat menerapkan aturan yang ada.

Organisasi Human Rights Watch mengecam hukuman yang diberikan kepada mereka yang melanggar aturan 'lockdown'.

"Sebagai contoh, kita lihat ada polisi lokal yang memasukkan pelanggar aturan ke kandang anjing atau peti mati," kata Carlos Conde dari Human Rights Watch kepada ABC.

Sejauh ini Human Rights Watch (HRW) sudah menemukan lima kasus di mana orang dimasukkan ke dalam kandang anjing.

Baca juga: Bawa Tenaga Medis Corona, Pesawat Lionair Filipina Jatuh, 8 Orang Tewas

Menurut media setempat, polisi yang melakukan hal tersebut sudah meminta maaf di Facebook, dan menghadapi sanksi disiplin dari kantor polisi tempat dia bertugas.

Selain kasus tersebut, ada juga beberapa contoh lainnya.

"Ada kejadian tiga warga dari komunitas LGBT ditahan karena melanggar jam keluar," kata Conde.

"Selain sudah didenda, mereka dipaksa berjoget dan diminta berciuman di depan publik, dan kejadian tersebut direkam dan diunggah ke Facebook oleh pejabat setempat."

'Lockdown' di Filipina sudah berlangsung lebih dari sebulan di pulau terbesarnya, yakni Luzon, sejak 16 Maret.

Menurut perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Filipina Dr Socorro Escalante, mereka melihat banyak hal positif dalam penerapan lockdown tersebut, terutama di tingkat lokal.

Baca juga: Virus Corona: Duterte Umumkan Rencana Lockdown Ibu Kota Filipina

Namun dia mengatakan sulit untuk melihat seberapa efektif karantina yang sudah dijalankan sejauh ini.

"Ini semua adalah mengenai bagaimana negeri ini bisa memastikan penularan tidak terus terjadi, dan juga bagaimana sistem layanan kesehatan bisa menangani penyebaran wabah." katanya.

Presiden Rodrigo Duterte sendiri telah membela kebijakan yang sudah dijalankan pemerintah sejauh ini.

"Tanpa pembatasan, ini tidak akan berakhir," kata Duterte.

"Jadi kalau Anda tidak mau mematuhi, saya akan membunuh Anda untuk melindungi hidup orang-orang tidak berdosa yang tidak ingin mati," ancam Presiden Duterte.

Filipina menghadapi masalah yang sama seperti Indonesia dan India.

Jumlah penduduknya besar dan tinggal di permukiman yang padat penduduk, di mana banyak keluarga tinggal di rumah-rumah yang kecil.

Baca juga: Mantan Penjaga Bersenjata Menyandera 30 Orang di Mal Filipina

Lockdown membuat yang miskin semakin menderita

Bagi Ligaya Sambayon, yang tinggal di kawasan kumuh di Manila, Sitio San Roque, 'lockdown' ketat membuatnya tidak bisa mengunjungi rumah sakit untuk mendapatkan obat bagi keluarganya.

Ligaya mengasuh putrinya yang berusia 19 tahun yang harus menggunakan kursi roda yang menderita 'cerebral palsy'.

Ligaya harus menggunakan transportasi umum namun kini bus tidak lagi beroperasi di Manila.

Keluarga Ligaya tidak bisa menggunakan sarana lain, karena Ligaya tidak punya pekerjaan, memiliki banyak utang karena obat untuk putrinya yang mahal.

Selain itu, Ligaya juga khawatir dia dan keluarganya akan terkena virus yang kemudian bisa menularkan ke anggota keluarga yang lain.

"Ketika virus ini mulai menyebar, tentu saja saya kawatir, karena dikatakan mereka yang rentan akan mudah tertular. Suami saya terkena stroke dan putri saya difabel," kata Ligaya kepada ABC.

Baca juga: Dokter yang Bunuh Diri Ini Pahlawan Garda Terdepan Perlawanan Virus Corona di New York

Keadaan yang dialami Ligaya membuat kelompok HAM memperingatkan bahwa lockdown dan penahanan paling berdampak pada warga miskin.

Awal April lalu, sebanyak 21 orang ditahan di permukiman kumuh di San Roque saat sejumlah orang mendengar adanya kabar pembagian makanan gratis.

Namun kabar tersebut tidak benar, beberapa di antara mereka yang datang untuk mencari makanan gratis malah ditahan, karena berkumpul tanpa izin dari polisi.

Seorang pekerja bangunan yang berstatus duda dengan tiga anak, Jesus Magsayo, mengatakan lockdown di tempatnya sudah membuat kehidupan semakin sulit.

Dia termasuk salah seorang yang ditahan walau kemudian dibebaskan.

"Yang paling berat bagi kami adalah menjadi pengangguran, kami betul-betul butuh pekerjaan," ungkapnya.

"Apa yang harus kami kerjakan sampai Covid-19 berakhir, bagaimana dengan anak-anak saya? Keluarga saya butuh makanan, uang."

Baca juga: Kasus Baru Infeksi Virus Corona, China Berlakukan Batasan Baru di Kota Harbin

'Gunung sosial yang bisa meletus'

Lian Buan, wartawan bidang hukum di situs berita Filipina Rappler mengatakan bahwa sikap menahan warga di fasilitas yang penuh sesak di tengah pandemi corona sangat mengkhawatirkan.

"Tempat tahanan tingkat kepadatannya 300 persen di atas normal, jadi kalau ada orang baru yang masuk ke dalam sistem penjara, mereka berisiko menyebarkan virus ke tahanan yang ada," katanya kepada ABC.

"Ini adalah krisis kesehatan dan saya kira solusinya harus lebih pada pendekatan kesehatan, bukan solusi pendekatan keamanan."

"Pelanggaran HAM sebelum pandemi sudah memprihatinkan, dan sekarang lebih mengkhawatirkan lagi karena adanya pembatasan pergerakan dan terbatasnya perangkat hukum yang tersedia untuk menanganinya."

Menurut kelompok HAM, penerapan 'lockdown' dalam jangka waktu yang lama saat warga tidak punya penghasilan dan makanan, akan menyebabkan gejolak sosial.

"Saya khawatir pandemi Covid-19 ini berkelanjutan dan akan menambah keparahan situasi di mana gunung masalah sosial yang ada bisa meledak kapan saja," kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.

Dia mengatakan komunitas yang hidup berdesakan dan kelompok miskin akan semakin kesulitan dan Conde sudah melihat tanda-tanda 'keresahan' di beberapa bagian di Manila dan di tempat lainnya.

Baca juga: Karena Virus Corona, Ratu Elizabeth II Batalkan Pesta Ulang Tahun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com