TOKYO, KOMPAS.com - Advokat untuk bar hostesses dan pekerja seks komersial telah mendesak pemerintah Jepang untuk pertimbangkan ulang pengecualian mereka dari program kompensasi.
Yakni program yang memberikan subsidi bagi para orang tua yang tak dapat bekerja karena penutupan sekolah, mengingat mereka adalah bagian dari kelompok rentan di masyarakat.
Melansir JapanTimes, sebuah grup pendukung kelompok kerja seks komersial itu mengirimkan surat pada Kamis lalu (2/4/2020) yang berisi permintaan kepada pemerintah Jepang untuk tidak mendiskriminasikan berdasarkan pekerjaan.
Baca juga: Dirawat di ICU karena Virus Corona, PM Inggris Boris Johnson Sudah Bisa Duduk
Serta untuk melindungi kehidupan semua keluarga (tanpa kecuali) karena virus corona sangat berdampak bagi perekonomian Jepang secara menyeluruh.
Pemerintah Jepang sebelumnya membuat program yang diperuntukkan bagi para pekerja lepas sub-kontrak yang terpisah dengan program para pekerja perusahaan.
Yaitu memberikan bantuan dana 4.100 yen Jepang (38 dollar AS setara dengan Rp 602.000) per hari kepada mereka yang tidak dapat bekerja antara 27 Februari lalu sampai 30 Juni mendatang karena penutupan sekolah.
Baca juga: WNI Terpapar Covid-19 di Singapura Melonjak Menjadi 45 Pasien
Namun, pemerintah Jepang telah memutuskan untuk tidak mencakup mereka yang berada dalam industri seks.
Seorang pejabat kementerian kesehatan mengutip masalah hukum di masa lalu apabila pemerintah memberikan subsidi bagi bisnis tersebut.
Pejabat itu berkata, "Di masa lalu, menjadi masalah bagi kami ketika subsidi diberikan kepada toko-toko yang memiliki hubungan dengan sindikat kejahatan dan mereka yang beroperasi secara ilegal."
Menanggapi itu, Yukiko Kaname, Kepala Pekerja Seks dan Kesehatan Seksual alias Swash yang mengajukan surat kepada pemerintah Jepang mengatakan kalau tidak semua bisnis memiliki masalah hukum.
Baca juga: Tak Mampu Bayar, Wanita Ini Jilat Barang Belanjaan Senilai 1.800 Dollar AS
Menurut Kaname, toko-toko yang berafiliasi dengan sindikat kejahatan merupakan masalah yang berkaitan dengan operator.
"Para pekerja tidak bersalah, anak-anak mereka tidak menanggung kesalahan," ungkap Kaname.
Pengacara Asuka Yasui juga ikut berargumen. Dia sebelumnya telah menawarkan jasa konsultasi pada pekerja di industri hiburan seks dan dewasa di Fu Terrace.
Kelompok itu telah menyaksikan peningkatan jumlah konsultasi menjadi 160 pada Maret kemarin.
Baca juga: Taiwan Tuntut Kepala WHO Minta Maaf, Ada Apa?
Angka itu merupakan tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Banyak orang mengatakan tidak bisa menghasilkan uang karena menurunnya jumlah pelanggan.
Yasui juga berpendapat kalau industri seks sering berfungsi sebagai jaringan yang aman bagi para perempuan yang membutuhkan 'penghidupan'.
Khususnya di wilayah pedesaan Jepang di mana minimum upah sangat rendah.
Seorang pengacara sekaligus pakar di bidang hak asasi perempuan, Yukiko Tsunoda mengkritik pengecualian para pekerja seksual dari program pemerintah Jepang, "(hal) itu seperti mengatakan (kepada para pekerja) untuk mati saja."
Baca juga: Trump Keluhkan WHO yang Terlalu Condong ke China
Dengan banyaknya orang kehilangan pekerjaan mereka atau menyaksikan penurunan tajam pendapatan mereka sebab diminta untuk berada di rumah selama wabah virus corona membuat pemerintah Jepang mengeluarkan paket ekonomi untuk membantu mereka yang terdampak.
Namun program kompensasi itu telah menghadapi banyak kritik. Jumlahnya dianggap jauh lebih rendah daripada subsidi 8.330 yen Jepang atau setara dengan Rp 1,2 juta yang diberikan kepada perusahaan yang meliburkan karyawannya karena wabah virus corona.
Baca juga: Jokowi Minta Pengusaha Tak Pecat Karyawan di Tengah Wabah Covid-19
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.