Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Politik Kelabu Malaysia dan Kisah Operasi Senyap Jusuf Kalla

Kompas.com - 02/03/2020, 09:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kampanye hitam kedua belah pihak tak terelakkan. Keduanya saling menohok.

Keduanya membujuk Jusuf Kalla (JK) untuk memediasi mereka untuk tidak saling menghabisi. Mereka percaya, Jusuf Kalla tidak akan memihak karena keduanya adalah sahabat dekat JK.

JK pun bergerak cepat. Saat itu adalah bulan puasa. JK dan saya bolak balik antara Jakarta dan Kuala Lumpur. Tinggalkan Jakarta usai buka puasa dan balik lagi ke Jakarta usai makan sahur di Kula Lumpur.

Semuanya dilakukan dengan prinsip operasi senyap. Tidak ada yang tahu.

JK menemukan formula jitu: harus ada power sharing. Siapa pun yang menang, maka yang kalah harus mengakuinya. Yang menang akan memilih yang kalah sebagai Timbalan Perdana Menteri.

Saya bersama Professor Yusril Ihza Mahendra membuat draft perjanjian politik tersebut, di suatu malam di Hotel Sheraton, Kuala Lumpur.

Begitu membaca draft perjanjian, Anwar Ibrahim senyum tersipu-sipu, langsung menerimanya. Dengan ucapan Bismillah, di depan JK, saya, dan Professor Yusril Ihza Mahendra, Anwar Ibrahim menorehkan tanda tangannya. JK langsung memeluknya.

Di malam itu juga, JK, saya, Yusril Ihza Mahendra menuju kediaman Najib Razak., membawa draft tersebut. Begitu membaca, Najib Razak pun langsung akur.

Hasil pemilu ternyata memihak ke Najib Razak. Anwar Ibrahim kalah. Namun, Anwar menolak hasil pemilu karena dianggap curang.

JK tidak bisa menerima sikap Anwar tersebut karena dianggap lari kesepakatan. Anwar membangun alibi. “Pendukung saya menolak, Pak,” kata dia kepada JK.

JK meninggikan suara. “Pemimpin itu tidak boleh diatur oleh pendukung. Pemimpin yang mengatur pendukung,” kata JK ke Anwar Ibrahim.

“Pak Jusuf, pada hari pemilu berlangsung, ada orang asing dari Bangladesh dan Sri Lanka masuk sebanyak 50 ribu orang. Mereka dimobilisasi oleh najib untuk mencoblos Najib,” Anwar Ibrahim tetap berkelit.

JK merespons Anwar dengan pemikiran logisnya.

“Anda tahu jumlah 50 ribu itu? Bila pesawat Boing 747 mengangkut 500 penumpang, maka harus ada seratus penerbangan Boing 747 hari itu mendarat di Malaysia. Logika Anda di mana? Lagian, bagaimana mereka mencoblos bila tidak bisa berbahasa Melayu? Mereka itu kan orang asing,” kata JK.

Najib masih memberi waktu beberapa hari sebelum mengumumkan kabinetnya. Anwar tetap menolak.

Beberapa waktu setelah itu, Anwar Ibrahim kembali masuk bui.

JK hanya mengatakan, “Nah, bila Anwar konsisten dengan kesepakatan, semua itu tidak perlu terjadi. Ia sudah jadi Timbalan Perdana Menteri dan sebentar lagi jadi Perdana Menteri.”

Dengan kisruh politik Malaysia kini, saya kira JK duduk santai menonton televisi sembari diam-diam berkata dalam hati, “Anwar, I told you. You pay so much price. I feel sorry for you.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com