Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Transformasi Ekonomi China dan Implikasinya di Asia Pasifik

Penyebaran agama Buddha dari India ke China dan kemudian ke Asia Timur dan Tenggara, serta pemikiran konfusianisme di Asia Timur, juga merupakan satu landasan pemersatu budaya bagi negara di kawasan Asia Timur. Beberapa negara di kawasan ini juga menggunakan karakter China dalam menulis bahasa mereka selama berabad-abad, termasuk Jepang yang masih menggunakannya sampai saat ini.

Selain ikatan budaya, ada juga ikatan kemanusiaan yang mempersatukan China dengan negara-negara di kawasan Asia Timur. Orang Tionghoa telah menyebar ke seluruh Asia Tenggara dan menjadi bagian penting dari tatanan ekonomi negara-negara tersebut.

Era Mao hingga Deng Xiaoping

Di zaman modern, kepentingan dan konflik keamanan utama China berasal dari kawasan ini, seperti perang dengan Jepang, Korea, Vietnam, India, dan krisis lintas selat dengan Taiwan.

Namun, benar bahwa proses reformasi dan keterbukaan yang dimulai tahun 1978 membawa perubahan yang signifikan dalam hubungan ekonomi dan politik China dengan negara-negara di kawasan, yang menjadi lebih erat dan intens. Sebagai bagian dari reformasi China pada era 1978, China secara radikal mengubah pendekatannya ke negara-negara di kawasan Asia Timur.

Pada era Mao, China mendorong revolusi dan membantu menciptakan dan mendukung partai-partai komunis yang dihuni banyak orang Tionghoa perantauan. Namun, pada era reformasi itu, China lebih fokus pada kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara di kawasan.

Orang Tionghoa perantauan masih dipandang dengan kecurigaan oleh penduduk lokal. Namun China tidak lagi mendorong atau mendukung tindakan yang dapat menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga.

Deng Xiaoping memang memutuskan bahwa dukungan China untuk partai-partai komunis di negara-negara di kawasan Asia Timur akan berjalan terus dan kemudian Deng juga mempertegas bahwa China mengharapkan orang Tionghoa perantauan untuk setia pada negara tempat tinggal dan tempat di mana mereka lahir.

Hal itu kemudian juga membuat pemerintah-pemerintah negara-negara di kawasan tersebut yakin tentang niat China dan tentang populasi etnis China yang ada di negara-negara tersebut sudah bukan merupakan bagian dari China lagi. Ketegasan Deng tentang politik China dan populasi keturunan China di luar negeri itu juga mempercepat proses normalisasi hubungan China dengan negara-negara di kawasan Asia.

Salah satu tujuan Deng Xiaoping dalam mengatur ulang hubungan China dengan negara-negara di kawasan Asia dan dengan etnis Tionghoa di luar negeri adalah untuk memanfaatkan kekayaan Tionghoa perantauan. Ia ingin menarik minat orang Tionghoa perantauan untuk berinvestasi di China dan menjadikan mereka sebagai salah satu sumber investasi yang penting bagi pembangunan ekonomi China.

Memang, orang Tionghoa perantauan, tidak hanya dari Asia Tenggara tetapi juga dari Hong Kong dan Taiwan, telah menjadi salah satu sumber utama investasi China dan memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi China. Sesuai dengan situasi internasional pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an, jangkauan China ke Asia Tenggara dan Timur tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan luar negeri China.

Dampak Peristiwa Tiananmen

Saat itu, China masih fokus pada perbaikan hubungan dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet hingga kehancuran Uni Soviet tahun 1991. AS dianggap sebagai kunci untuk modernisasi dan penerimaan China di komunitas internasional.

Namun, seiring perubahan situasi global dan ekonomi, China mulai lebih fokus pada kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Timur, serta menjadi salah satu pemain penting dalam perdagangan dan investasi di kawasan tersebut.

Sesuai dengan perkembangan hubungan internasional saat itu, sepanjang tahun 1990-an, fokus China tetap pada hubungan dengan AS, saat China mengalami masa sulit setelah peristiwa Tiananmen. AS dan negara-negara Barat memberlakukan berbagai sanksi terhadap China.

Pada saat itu, China berusaha untuk melewati sanksi yang diterapkan negara-negara Barat dengan mengejar kerja sama dengan negara-negara di Asia, yang memiliki pandangan yang berbeda tentang China dibandingkan dengan AS dan Barat. Negara-negara ini melihat China sebagai negara Asia, yang memiliki banyak tradisi budaya dan karakteristik sosial yang sama.

Negara-negara di Asia tidak begitu terpaku pada masalah hak asasi manusia seperti AS, dan beberapa negara-negara Asia juga memiliki catatan hak asasi manusia yang tidak baik menurut AS, dan negara-negara ini merasa senasib dengan China dalam menghadapi dunia Barat.

Hubungan pertama yang menunjukkan perbaikan setelah insiden Tiananmen justru adalah hubungan lintas selat Taiwan, hubungan Republik Rakyat China dengan Taiwan mulai terjalin lagi setelah Tiananmen. Pengusaha Taiwan melihat peluang di China yang dijauhi oleh Barat dan mereka memanfaatkannya dengan memindahkan perusahaan-perusahaan mereka ke daratan China.

Tahun 1992, China dan Taiwan memulai dialog semi-resmi setelah empat dekade tanpa kontak antar lembaga tinggi pemerintah. Selain itu, negara-negara lain juga mulai melakukan pendekatan ke Beijing selama periode tersebut.

Perdana Menteri Jepang adalah kepala pemerintahan penting pertama yang mengunjungi China setelah insiden Tiananmen.  Perdana Menteri Jepang, Toshiki Kaifu, mengunjungi China tahun 1991. Jepang berusaha untuk menjadi perantara antara China dan AS pada masa itu, menjelaskan kepada pemimpin AS tentang pentingnya menjaga hubungan yang terbuka ke Beijing.

Selain itu, China melepaskan penentangannya terhadap keanggotaan Korea Selatan di PBB tahun 1991 dan menjalin hubungan diplomatik dengan Korsel tahun 1992. Pada saat itu China bersama tetangganya di Asia bekerja sama dalam menghadapi isolasi dan tekanan yang dipaksakan Barat. Selain itu China juga berharap negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan bisa menjadi jembatan untuk membangun kembali hubungan dengan Barat.

Negara-negara tetangga pada gilirannya juga memanfaatkan peluang ekonomi yang ada di China yang selama itu ditinggalkan Barat. Hal ini menjadi latar belakang penting untuk transformasi yang luar biasa dalam hubungan China dengan tetangga di Asia pada saat itu.

Transformasi Ekonomi dan Politik

Transformasi ekonomi dan politik, membuat China menjadi salah satu negara perekonomian terkuat di dunia dan menjadi pemain penting dalam kerja sama regional dan global. Transformasi ekonomi China dalam satu dekade terakhir telah menyebabkan perubahan besar dalam hubungan ekonomi China dengan negara-negara tetangganya di Asia.

China telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan menjadi magnet utama untuk investasi asing langsung. Negara-negara Asia juga merasakan dampak transformasi ini, dengan perdagangan China dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, dan India, maupun Taiwan meningkat signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Pemain ekonomi utama di Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan India, telah menikmati pertumbuhan spektakuler dalam hubungan perdagangan mereka dengan China. Sektor manufaktur China sangat bergantung pada impor dari negara-negara Asia Timur untuk menyuplai kebutuhan ke pabrik-pabrik China yang produk ekspornya diarahkan ke Barat.

Hal itu telah meningkatkan kemakmuran dan keberhasilan ekonomi negara-negara di kawasan Asia. China telah menjadi bagian penting dari lini produksi Taiwan, Korea, dan Jepang. Pertama, industri kelas bawah dan padat karya negara-negara itu memindahkan pabrik perakitannya ke China untuk mengurangi biaya dan membiarkan produk mereka tetap kompetitif secara internasional.

Secara bertahap, perakitan teknologi yang lebih tinggi juga berpindah ke China. Taiwan, misalnya, memiliki lebih dari 9 miliar dolar investasi di China. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya China bagi negara-negara tetangga di Asia dalam hal ekonomi, dan menunjukkan bagaimana transformasi ekonomi China telah memengaruhi hubungan ekonomi dengan negara-negara di kawasan.

Semua negara-negara di kawasan ini memandang China sebagai pasar ekspor utama mereka yang sedang berkembang. Dampak dari ini adalah ekonomi negara-negara di Asia Timur semakin tergantung pada China, sebagai pasar ekspor yang kuat dan sebagai mitra dagang yang penting. Itu artinya ekonomi negara-negara di Asia Timur cenderung bergerak bersama dengan ekonomi China.

Jika ekonomi China terpuruk, ekonomi negara-negara di wilayah itu juga akan terpengaruh. Sanksi terhadap China akan sangat merugikan negara-negara di kawasan, karena mereka sangat tergantung pada hubungan perdagangan dengan China.

Selain itu, sanksi tersebut akan memiliki dampak negatif pada ekonomi dunia secara keseluruhan, karena China saat ini merupakan salah satu pemain ekonomi utama dunia.

Dalam beberapa tahun terakhir, China telah membuat beberapa inisiatif penting dalam bidang ekonomi dan politik untuk meningkatkan hubungannya dengan negara-negara di kawasan Asia. Ini termasuk perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN, pakta perdagangan bebas bilateral dengan beberapa anggota ASEAN, dan kelompok ASEAN plus tiga yang mengecualikan AS.

China juga telah menyelesaikan sengketa perbatasan dengan Rusia dan menyiapkan mekanisme negosiasi dengan India mengenai sengketa perbatasan mereka. Selain itu, China telah mengesampingkan klaim teritorialnya di Kepulauan Spratly demi "pembangunan bersama" dengan negara-negara lain yang juga mengklaim wilayah tersebut.

Semua ini bertujuan membuat lingkungan yang damai di sekitar China dan memfokuskan pada pembangunan ekonomi. China telah meningkatkan kerja sama energi dengan negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Rusia, seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Rusia. Ini termasuk pembangunan jaringan pipa untuk memindahkan minyak dan gas dari wilayah tersebut ke China, dan investasi dalam proyek-proyek energi di kawasan tersebut.

China juga telah menandatangani perjanjian-perjanjian kerja sama energi dengan negara-negara di Asia Tengah dan Rusia, yang mengikat mereka untuk menyediakan China minyak dan gas dalam jumlah besar dan dalam jangka panjang.

Hal itu menunjukkan China tidak hanya berfokus pada hubungan ekonomi dengan tetangganya di Asia, tetapi juga memperhatikan keamanan energi sebagai faktor penting dalam kebijakan luar negerinya. Secara umum, hubungan China dengan tetangganya di Asia telah berkembang secara positif dalam beberapa tahun terakhir.

Transformasi ekonomi China telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di seluruh kawasan, dan China telah menjadi pasar yang semakin penting bagi negara-negara tetangganya. China juga telah membangun institusi dan inisiatif politik dan keamanan yang penting untuk mendukung hubungan yang baru berkembang ini.

Namun, masih terdapat kekhawatiran tentang sikap China terhadap AS dan peran China di kawasan Asia-Pasifik. Namun, dari pandangan umum, China telah menunjukkan komitmen untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangga dan mendukung stabilitas dan keamanan di kawasan.

Pengecualian lainnya adalah India. Meskipun hubungan China-India telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, masih ada ketegangan yang cukup besar antara kedua negara. Sengketa perbatasan masih belum sepenuhnya diselesaikan, dan persaingan atas sumber daya dan pengaruh di kawasan Asia Selatan juga menjadi permasalahan.

Namun, kedua negara telah berusaha untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan politiknya, dan telah menandatangani perjanjian untuk mengurangi ketegangan perbatasan dan bekerja sama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Secara keseluruhan, China telah melakukan perkembangan yang luar biasa dalam hubungannya dengan tetangganya di Asia Timur dan Tenggara.

Transformasi ekonomi China telah menjadi magnet bagi negara-negara di kawasan, yang melihat pertumbuhan dan kemakmuran China sebagai hal yang penting untuk keberhasilan ekonomi mereka sendiri. China juga telah menjadi lebih aktif secara diplomatik dan multilateral, membangun institusi dan inisiatif politik dan keamanan yang penting untuk menopang hubungan perdagangan.

Namun, hubungan China dengan Jepang dan Taiwan masih menjadi pengecualian yang perlu diperhatikan dalam perkembangan ini.

Negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara tidak ingin terlibat dalam konflik antara China dan Taiwan, karena itu akan merugikan kepentingan ekonomi mereka dan menimbulkan ketegangan yang tidak perlu. Beberapa negara di kawasan tersebut, seperti Jepang dan Australia, memiliki hubungan militer dan kerja sama dengan AS. Namun mereka juga memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan China dan tidak ingin terlibat dalam konflik dengan kedua negara besar tersebut.

https://www.kompas.com/global/read/2023/01/17/100045870/transformasi-ekonomi-china-dan-implikasinya-di-asia-pasifik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke