Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita WNI Pemetik Buah di Inggris Terlilit Utang untuk Bayar Broker: Saya Malu

LONDON, KOMPAS.com – WNI pemetik buah di Inggris bercerita tentang pengalaman mereka yang harus membayar uang puluhan juta rupiah kepada perantara atau broker, tapi ternyata menghasilkan upah sedikit.

Ketika tiba di Bandara Internasional London Heathrow pada bulan Juli, Agung -bukan nama sebenarnya- merasa ini adalah awal dari masa depan keuangan yang lebih baik untuk keluarganya.

Dia mengharapkan pekerjaan pertanian yang menguntungkan selama enam bulan di Inggris untuk membantu menghidupi ibu dan saudara-saudaranya di Jawa.

Agung saat itu belum menyadari panen sudah mulai berjalan atau bahwa bayarannya hanya sebagian kecil dari yang diharapkan.

Diberitakan The Guardian pada Jumat (2/12/2022), Agung mengaku telah membayar lebih dari 4.650 pound Britania (sekitar Rp88,8 juta) kepada seorang broker di Jawa untuk pekerjaan itu pada April.

Untuk membayar uang jalan ini, dia mengambil pinjaman dengan bunga bulanan 3 persen

Visanya akhirnya keluar pada bulan Juni.

Tapi, dia baru diberangkatkan pada bulan berikutnya atau pada Juli.

Pekerjaan pertamanya adalah di pertanian Castleton di Aberdeenshire, yang memasok buah beri ke supermarket termasuk M&S, Waitrose, Tesco, dan Lidl.

Dia tidak menyadari bahwa itu sangat jauh dari London dan terkejut ketika dia harus membayar 95 pound Britania (sekitar Rp1,8 juta) untuk bisa sampai ke sana, menambah hutangnya.

Begitu mulai memetik buah beri, dia menemukan target pekerjaan yang tidak mungkin dipenuhi.

Dia mengatakan para pekerja akan mulai bekerja sekitar jam 5 pagi dan jika belum mengambil cukup pada jam 9 pagi, para pekerja dikirim kembali ke karavan untuk hari itu.

Dengan ini, Agung hanya bisa membawa pulang sedikit lebih dari 200 pound Britania (sekitar Rp3,8 juta) seminggu.

Alih-alih kekayaan yang diharapkan, Agung melewatkan makan untuk mencoba membayar hutang.

“Saya mentransfer hampir semua uang yang saya peroleh ke Indonesia,” katanya.

“Kadang-kadang saya tidak punya cukup makanan untuk saya karena yang bisa saya pikirkan hanyalah saya harus membayar hutang saya,” tambah Agung.

Pada September, Agung diberhentikan karena mendapat tiga peringatan karena dianggap terlalu lambat.

Selama dua bulan bekerja, Agung hanya menghasilkan sekitar 1.500 pound Britania (sekitar Rp28,6 juta).

“Keluarga saya sangat membutuhkan uang. Apa yang saya dapatkan tidak cukup untuk membantu mereka,” kata dia.

Dia membayar transportasinya sendiri ke Kent dan mulai memetik apel di pertanian lain. Namun pada awal November pekerjaan itu terhenti karena sudah tidak ada lagi buah yang bisa dipetik.

Dia kemudian pindah ke London dengan seorang teman dan berhasil menyewa kamar. Dia sempat memiliki pertimbangan apakah akan mengambil risiko berkecimpung di pasar gelap atau terbang pulang lebih awal.

Dia mengatakan dia masih berutang lebih dari 1.700 pound Britania (Rp32,4 juta) di rumah dan dikenakan bunga 3 persen sebulan.

“Saya merasa beberapa perlakuan sangat tidak adil. Tidak ada lagi pekerjaan tapi kami masih terlilit hutang,” ucap Agung.

Ross Mitchell, direktur pelaksana Castleton Fruit, mengatakan bahwa perkebunan tersebut memiliki prosedur disipliner, seperti yang dilakukan semua pemberi kerja untuk menangani masalah terkait kinerja yang diaudit setiap tahun dan diatur secara ketat.

Dia mengatakan kesejahteraan pekerja adalah hal yang "paling penting".

Mitchell menyebut dari hampir 1.000 orang yang dipekerjakannya setiap tahun, lebih dari 70 persen kembali.

Dia menambahkan bahwa 106 orang Indonesia yang datang ke pertanian tahun ini bekerja rata-rata 41,81 jam, dengan rata-rata gaji kotor mingguan sebesar 450,68 pound Britania atau sekitar Rp8,6 juta (sebelum biaya seperti akomodasi dibebankan) dan 70 orang masih di Castelton.

Mitchell mengaku prihatin tentang pembayaran yang diminta oleh agen pihak ketiga kepada para pekerja.

Pihaknya mengandalkan agen yang disetujui untuk melakukan uji tuntas guna memastikan bahwa para pekerja tidak membayar biaya yang berlebihan.

Mitchell mengaku pertama kali mengetahui kasus yang dialami para pekerja Indonesia yakni begitu mereka tiba di pertanian.

Dia mengaku sangat prihatin dan segera melaporkannya ke agen, pihak berwenang, dan pelanggan.

"Kami berharap badan terkait akan menangani masalah ini," jelas dia.

WNI pemetik buah lainnya, Mochtar -bukan nama sebenarnya- dari Lombok, yang bekerja bersama Agung, juga masih terlilit utang atas apa yang ia bayarkan untuk datang ke Inggris.

Dia berhasil memetik lebih banyak buah di Castleton tetapi mengatakan dia masih menghasilkan kira-kira 300 pound Britania seminggu.

Dia bercerita hanya berhasil mengirim sekitar 100 pound Britania ke rumah untuk istrinya sebulan, setelah dia melakukan pembayaran terhadap utang dan memperhitungkan biaya hidupnya sendiri.

“Saya akan sangat senang melihat keluarga saya lagi. Tetapi di sisi lain saya malu,” ucap dia.

https://www.kompas.com/global/read/2022/12/09/100000870/cerita-wni-pemetik-buah-di-inggris-terlilit-utang-untuk-bayar-broker-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke