Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kepemilikan Asing Brisbane Roar Bermasalah, Nama Joko Driyono dan Bakrie Dicatut

Dalam kompetisi sepak bola utama Australia, A-League, lima dari 12 klub dimiliki atau dikendalikan asing.

Namun, dengan sedikit persyaratan untuk transparansi publik, pembiayaan di belakang klub sering kali tidak jelas.

Melansir ABC News pada Senin (27/9/2021), Brisbane Roar dimiliki sepenuhnya oleh salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, Grup Bakrie, yang memiliki usaha pertambangan dan media yang luas.

Laporan media Australia itu juga menyorot peranan keluarga Bakrie dalam politik Indonesia. Dengan Aburizal Bakrie, disebut sebagai mantan ketua partai Golkar,yang punya catatan kelam sebagai partai politik mantan presiden Indonesia, Suharto.

Adik Aburizal Bakrie, Nirwan, merupakan sosok berpengaruh di sepak bola Indonesia.

Dokumen yang diajukan ke regulator perusahaan Australia menunjukkan grup Bakrie sebagai pemilik Brisbane Roar, melalui perusahaan induk Indonesia, Pelita Jaya Cronus.

Four Corners menemukan bahwa seorang direktur perusahaan Bakrie, Joko Driyono, dipenjara selama 18 bulan pada 2019. Hukuman itu terkait kasus mengganggu bukti dalam penyelidikan polisi, terhadap pengaturan pertandingan di sepak bola Indonesia.

Catatan pengadilan mengungkapkan bahwa Driyono, mantan penjabat ketua asosiasi sepak bola Indonesia, dihukum karena memerintahkan sopirnya mengeluarkan komputer notebook dan dokumen dari kantornya, yang telah ditutup dengan pita polisi selama penyelidikan.

Driyono telah dibebaskan dari penjara.

Menurut catatan perusahaan Indonesia, ia tetap menjadi "Presiden Direktur", yang mengepalai dewan direksi Pelita Jaya Cronus, perusahaan induk utama Brisbane Roar.

Driyono dan Brisbane Roar tidak menanggapi beberapa permintaan komentar.

Penggemar Brisbane Roar Chris McAlister mengatakan kepada Four Corners bahwa penggemar mengharapkan standar tinggi dari pemilik klub.

"Anda memiliki mata pencaharian begitu banyak orang terkemuka dan orang-orang yang dihormati dan pahlawan dan idola untuk anak-anak muda, dalam gaji Anda ... Anda harus memegang standar moral dan etika, lingkungan, sosial yang sama dengan yang kita pegang untuk perusahaan lainnya," kata McAlister.

Masalah transparansi

Mantan direktur urusan perusahaan Federasi Sepak Bola Australia Bonita Mersiades mengatakan otoritas sepak bola di Australia "harusnya menyadari" kasus dan keterlibatan Driyono dalam perusahaan, dan "harus peduli tentang hal itu".

Mersiades, yang menyuarakan isu dugaan korupsi dalam proses penawaran Piala Dunia 2022, mengatakan perlu ada lebih banyak transparansi tentang keuangan dan struktur kepemilikan tim A-League.

Sebagian besar tim A-League dijalankan sebagai perusahaan swasta di Australia. Oleh karena itu, tidak diharuskan untuk mempublikasikan laporan keuangan tahunan.

“Kami tidak memiliki tingkat pemahaman yang sama tentang kepemilikan klub yang mereka lakukan di negara lain,” kata Mersiades kepada Four Corners.

"Menjadi prinsip dasar tata kelola yang baik bagi kami (Australia) memiliki transparansi dan akuntabilitas seputar kepemilikan, baik milik asing maupun milik Australia."

Ketika klub A-League Adelaide United dijual pada 2018 oleh pengusaha lokal – termasuk pengacara Adelaide Greg Griffin, konsorsium investor Belanda yang membelinya bersikeras untuk tetap anonim.

Griffin hanya pernah bertemu orang depan konsorsium dan identitas investor masih belum diungkapkan.

"Saya pikir itu mungkin tidak pernah terdengar di sebagian besar liga Eropa, yang kepemilikannya sangat transparan," kata Griffin.

"Saya pikir setiap entitas yang ingin masuk ke A-League harus mengungkapkan dengan tepat siapa mereka dan apa mereka."

Sport washing untuk reputasi

Sementara itu, Melbourne City yang memenangkan grand final A-League pertamanya tahun ini juga menjadi sorotan. Kemenangan itu disebut tidak hanya mengukir sejarah bagi tim tetapi juga untuk pemilik asing yang kaya dari klub.

Tim ini dimiliki oleh City Football Group, investasi olahragan perusahaan Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, anggota keluarga kerajaan yang memerintah Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab (UEA).

City Football Group memiliki, atau punya saham di, 10 tim sepak bola di banyak negara. Tim andalannya adalah tim raksasa Inggris Manchester City.

Setelah kemenangan grand final Melbourne City, orang pertama yang berterima kasih kepada kapten tim Scott Jamieson adalah "Yang Mulia Sheikh Mansour".

Dia juga memilih dua tokoh klub lainnya, ketua Khaldoon al Mubarak dan wakil ketua Simon Pearce.

Terlepas dari keterlibatan mereka di City Football Group dan timnya, Al Mubarak dan Pearce adalah penasihat senior pemerintah Abu Dhabi.

Al Mubarak adalah penasihat Putra Mahkota dan penguasa de facto Abu Dhabi, Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, yang merupakan wakil panglima tertinggi angkatan bersenjata UEA.

Pearce, yang tinggal di Sydney, adalah seorang spesialis PR yang menasihati Al Mubarak dalam perannya sebagai ketua Otoritas Urusan Eksekutif Abu Dhabi, sebuah lembaga pemerintah yang memberikan nasihat kepada Putra Mahkota.

"Dia telah lama berperan dalam kebijakan pemerintah di sana, terutama komunikasi, itulah peran kuncinya. Saya pikir mungkin cara paling sederhana untuk menggambarkannya adalah (sebagai) menteri propaganda untuk UEA," kata Nicholas McGeehan, yang menghabiskan lima tahun sebagai peneliti di Human Rights Watch.

UEA telah lama dikritik oleh Amnesty International karena catatan hak asasi manusianya, menurut kepala eksekutif Australia, Sam Klintworth.

Beberapa (kekhawatiran) itu termasuk pembungkaman dan pemenjaraan mereka yang berbicara menentang keluarga penguasa.

"Tentu saja, hak-hak perempuan menjadi perhatian kami, hak-hak pasangan sesama jenis, dan ada pelanggaran hak asasi manusia dalam kafala, yang merupakan sistem sponsor bagi pekerja migran," kata Klintworth kepada Four Corners.

Amnesty International kata dia, menentang kepemilikan City Football Group atas Melbourne City, karena catatan hak asasi manusia UEA yang buruk.

Amnesty menuduh UEA menggunakan tim sepak bola seperti Manchester City dan Melbourne City untuk sports washing atau "mencuci" reputasi internasionalnya melalui olahraga.

"Orang-orang mengasosiasikan olahraga dengan nilai-nilai positif, prestasi, kecakapan dan kebugaran," kata Ms Klintworth.

Sports washing pada dasarnya adalah mengambil atribut positif yang terkait dengan olahraga dan menggunakannya untuk meningkatkan reputasi.

"Jadi, pada dasarnya, itu dapat memanfaatkan kemewahan, akses, daya tarik universal olahraga, untuk meningkatkan merek tertentu, dan itu juga dapat dilihat untuk menyamarkan atau mengalihkan pelanggaran hak asasi manusia."

Melbourne City adalah salah satu dari beberapa tim City Football Group, termasuk Manchester City, yang terlibat dengan UEA untuk mempromosikan World Expo bulan depan di Dubai.

McGeehan mengatakan kepemilikan City Football Group menyeret masalah etika dan moral bagi klub, dan untuk pendukung mereka.

"Apakah Anda benar-benar ingin dijalankan oleh pemerintah yang melakukan kejahatan perang, dan tujuannya memiliki klub adalah untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya? Saya berpendapat, tidak," katanya.

"Klub harus dijalankan untuk kepentingan pendukung mereka, dan komunitas mereka. Bukan untuk kepentingan politik pemerintah asing."

Melbourne City menolak berkomentar.

Seorang juru bicara Football Australia mengatakan pihaknya bekerja sama dengan lembaga penegak hukum untuk "melindungi dan menjaga integritas keuangan" dalam permainan.

"Uji kelayakan dan kepatutan" untuk klub juga dilakukan, dengan harus menyediakan "rekening keuangan yang diaudit secara independen" setiap tahun.

https://www.kompas.com/global/read/2021/09/27/214335970/kepemilikan-asing-brisbane-roar-bermasalah-nama-joko-driyono-dan-bakrie

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke