Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menengok Perpaduan Budaya Indonesia-China di Pusat Perdagangan Maritim Kuno

FUZHOU, KOMPAS.com - Saat itu pertengahan musim panas. Sebelum tengah hari dan dengan keringat yang mengucur deras, Fu Ruichang (50) sibuk memanggang babi muda guling di sebuah panggangan di luar restoran kecilnya di Komunitas Nanshan di Kota Quanzhou, Provinsi Fujian, China timur.

Hidangan ini, yang berasal dari Pulau Bali, sesaat lagi akan disajikan kepada puluhan siswa asing. Bagi Fu, menyajikan kebudayaan Indonesia melalui masakannya kepada pelanggan merupakan sebuah kebahagiaan.

Komunitas Nanshan merupakan sebuah permukiman bagi warga China perantauan yang kembali dari luar negeri, khususnya dari Bali, bersama keluarga mereka. Lebih dari 500 di antaranya kini tinggal di komunitas tersebut.

Di komunitas ini, di antara gedung-gedung apartemen dengan puncak segitiga merah, pohon palem, nangka, dan tanaman tropis lainnya tumbuh subur, mengingatkan orang-orang tentang pemandangan di Bali.

Lahir dan tumbuh di Quanzhou, Fu mempelajari keterampilan kuliner Indonesia dari orang tuanya, yang menghabiskan beberapa dekade pertama dalam hidup mereka di Bali.

Fu merasa yakin dengan masakannya. Pernah suatu kali, seorang warga Indonesia datang ke restoran miliknya dan mengatakan bahwa masakan Fu memiliki rasa yang autentik, dengan cita rasa tradisional Indonesia yang sama persis.

Nanshan dan Bali kerap mengadakan kontak. Sebelum pandemi Covid-19, berbagai bahan dan rempah-rempah dalam hidangan Fu diimpor langsung dari Indonesia.

Dahulu kala, rempah-rempah menjadi komoditas ekspor penting bagi Indonesia di sepanjang Jalur Sutra Maritim.

Pada 25 Juli tahun ini, Quanzhou, kampung halaman Fu yang juga menjadi titik awal jalur kuno tersebut, diresmikan sebagai warisan dunia ke-56 China lantaran perdagangan maritimnya yang makmur selama abad ke-10 hingga ke-14.

Sejak periode itu, warga China dari beberapa generasi telah merantau dan mencari nafkah di luar negeri.

Pada 1961, Cai Jinji yang kala itu berusia 19 tahun, menaiki kapal dari Pulau Bali bersama ratusan warga China lainnya lalu bermukim di Quanzhou, kampung halaman bagi banyak warga China perantauan. Sejak saat itu, Komunitas Nanshan pun terbentuk.

Enam puluh tahun kemudian, Cai Jinji masih lancar berbicara Bahasa Indonesia. Setelah pensiun, pria tersebut kerap mengajarkan bahasa tersebut kepada anak-anak di Nanshan selama libur sekolah.

Tidak saja dengan bahasa, warga Nanshan mengingat Indonesia melalui banyak cara. Banyak di antara mereka memakai batik dan sarung, pakaian tradisional Indonesia dengan pola aneka warna. Pada malam hari, mereka menari dengan terampil diiringi lagu-lagu Indonesia di lapangan komunitas tersebut.

Beberapa tahun terakhir, kesan warga Nanshan tentang Indonesia ini menjadi jembatan komunikasi. Sebelum pandemi, selama sekitar dua dekade, orang-orang dari Komunitas Nanshan dan Pulau Bali saling berkunjung setiap tahunnya.

Fu mengunjungi Bali untuk kali pertama pada 2001 sebagaimana dilansir Xinhua.

"Saya belajar Bahasa Indonesia dari orangtua saya dan tanpa disangka saya dapat berkomunikasi dengan warga Bali tanpa kendala apa pun," tutur Fu. "Kami bahkan memiliki logat yang sama dan itu memberi saya rasa keakraban."

Cai pergi ke Bali lebih dari 10 kali sejak 1996. Sebagai anggota inti tim kesenian di Komunitas Nanshan, Cai memimpin anggota yang lebih muda untuk menampilkan pertunjukan bagi warga Bali, bernyanyi serta menari dengan gaya yang memadukan karakter China dan Indonesia.

"Orang Indonesia keturunan China dan warga China yang ada di Indonesia belajar lebih banyak tentang China kontemporer dari jenis komunikasi ini," kata Cai. "Mereka mengagumi kehidupan kami di China sini, khususnya semua kebijakan yang mendukung kaum lansia."

Selain semua aktivitas pertukaran budaya, Nanshan dan Bali saling membantu di kala susah.

"Tahun lalu ketika pandemi sedang parah di China, warga Bali memberikan banyak masker kepada kami," ujar Luo Ping, sekretaris partai untuk Komunitas Nanshan. "Tahun ini, giliran kami untuk memberi kepada mereka."

Menurut Luo, siswa taman kanak-kanak di Nanshan memiliki kelas untuk mempelajari bahasa, lagu, dan tarian Indonesia. Dengan begitu, mereka dapat memahami kisah-kisah nenek moyang mereka, serta berkontribusi bagi pertukaran budaya antara China dan Indonesia di masa depan.

Oktober tahun lalu, dengan dukungan pemerintah setempat, Komunitas Nanshan mendirikan kawasan kuliner (food street) khas Indonesia guna lebih mempromosikan berbagai kisah warga China perantauan. Fu menjadi salah satu orang pertama yang membuka restoran di kawasan itu.

Kini, saat berjalan di sepanjang jalan di kawasan tersebut, kita bisa mencium berbagai aroma masakan Indonesia.

Tidak jauh dari kawasan kuliner ini, terdapat taman adat masyarakat Indonesia yang selesai dibangun dalam setahun.

Fu berniat, saat pandemi berakhir nanti, dirinya akan pergi ke Bali untuk membeli tidak saja rempah-rempah bagi restorannya, tetapi juga dua patung batu khas Bali, kemudian meletakkan kedua patung tersebut di depan gerbang taman adat itu.

https://www.kompas.com/global/read/2021/08/11/141616870/menengok-perpaduan-budaya-indonesia-china-di-pusat-perdagangan-maritim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke