Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Misteri: Apakah 130 Anak di Hamelin Benar-benar 'Diculik' Si Peniup Seruling?

HAMELIN, KOMPAS.com - "In the year 1284 after the birth of Christ, from Hameln were led away, one hundred thirty children, born at this place, led away by a piper into a mountain, The Children of Hamelin-Jacob and Wilhelm Grimm."

(Pada tahun 1284 setelah kelahiran Kristus, dari Hameln dibawa pergi, seratus tiga puluh anak, lahir di tempat ini, dituntun oleh si Peniup ke sebuah gunung, - Anak-anak Hamelin, karya Jacob dan Wilhelm Grimm).

The pied piper of Hamelin atau si Peniup Seruling dari Hamelin adalah cerita rakyat abad pertengahan dari kota Hamelin, Jerman.

Kisah itu telah mengilhami banyak karya sastra lainnya seperti Der Rattenfanger karya Goethe, The Children of Hamelin oleh Grimm Bersaudara dan The Pied Piper of Hamelin karya Robert Browning.

Inti cerita mereka semua sama; si Peniup Seruling yang disewa pemerintah kota Hamelin untuk membersihkan kota itu dari wabah tikus berubah menjadi jahat ketika bayaran tidak sesuai yang dijanjikan.

Si Peniup Seruling diceritakan menjadi gusar dan berjanji akan melakukan balas dendam.

Benar saja, dia kembali di suatu hari yang dikenal sebagai Hari Yohanes dan Paulus, memakai pakaian berwarna hijau seperti pemburu (sebelumnya berpakaian warna-warni) dan menggunakan sihir saat meniup serulingnya untuk menarik ratusan anak keluar dari kota Hamelin.

Namun, apakah benar ratusan anak 'diculik' keluar dari kota Hamelin oleh si Peniup Seruling? Jika iya, ke mana mereka dibawa? 

Rupanya, hilangnya 130 anak itu didokumentasikan dalam beberapa literatur sejarah di Jerman.

Meski fakta itu masih menjadi misteri, mengutip BBC Indonesia, menurut seluruh dokumentasi lokal, tanggal 26 Juni diperingati sebagai tanggal "anak-anak yang menghilang". 

Tanggal itu pula, diketahui sebagai tanggal perayaan pertengahan musim panas kaum pagan.

Emigrasi karena tekanan ekonomi 

Menurut Folklore Thursday, sebuah prasasti berukir di depan rumah yang disebut-sebut sebagai rumah si Peniup Seruling yang dibangun pada tahun 1602 menjadi saksi dari misteri itu.

Bunyi prasasti itu, "Tahun 1284, tanggal 26 Juni, hari Santo Yohanes dan Paulus, 130 anak yang lahir di Hamelin, dibawa keluar kota oleh seorang Peniup Seruling yang mengenakan pakaian warna-warni. Setelah melewati Calvary dekat Koppenberg mereka menghilang selamanya."

Kemudian, prasasti itu diketahui bukan satu-satunya petunjuk. Sebuah dokumentasi sejarah kota Hamelin mencatat bahwa pada tahun 1384 mereka menyebut "Sudah 100 tahun sejak anak-anak kita pergi."

Melansir BBC, sebuah manuskrip Luneburg dari abad ke-15, sebuah catatan awal Jerman yang merujuk pada cerita serupa tentang hilangnya 130 anak atau anak remaja pada 26 Juni 1284.

Sejak itu, banyak teori diungkapkan. Salah satunya yang paling diterima adalah, mereka, anak-anak remaja itu beremigrasi massal ke wilayah lain karena tekanan ekonomi di Hamelin.

Teori itu membuat istilah "Children of Hamelin" atau "anak-anak Hamelin" menjadi lebih dipahami secara metaforis, yakni "mereka yang menjadi milik Hamelin", istilah yang lebih umum di Jerman. 

Itu artinya, generasi muda telah pergi secara massal, mencari peruntungan di negeri yang mereka pikir "lebih menjanjikan" di wilayah Eropa Timur.

Negara-negara itu di antaranya wilayah Baltik di timur laut (bekas Pomerania dan Prusia Timur), Morovia (sekarang Republik Ceko d an Silesia) atau bahkan Transylvania (Romania).

Si Peniup Seruling dalam teori ini disebut sebagai Lokator-sebuah istilah untuk mereka yang merekrut pekerja militer, petani atau orang-orang di daerah berpenduduk rendah atau juga mereka yang bermusuhan terhadap pemerintah.

Lokator akan datang sebagai orang asing, dengan seragamnya yang berwarna cerah untuk menarik perhatian dan mengumumkan penawarannya dengan meriah bahwa ada "kekayaan yang dijanjikan" di negara-negara Timur.

Teori lain mengatakan, musik yang "menggoda" yang keluar dari seruling si Peniup menjadi elemen paling menarik secara psikis karena dianggap "menyembuhkan luka di masyarakat yang tengah menderita itu".

Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa mungkin saja si Peniup Seruling, yang mewakili dukun pagan, memainkan serulingnya, menuntun anak-anak Hamelin ke perayaan musim panas ketika faksi lokal Kristen, berharap memperkuat pengaruhnya di wilayah itu, mencegat dan membantai mereka.

Teori lain yang tidak begitu berdarah mengatakan mungkin anak-anak itu dibawa ke biara terdekat.

Walau begitu, meski memiliki beberapa fakta tragedi yang masih menjadi misteri, folklore Si Peniup Seruling dari Hamelin telah melahirkan karya-karya sastra dan artistik. 

Wibke Reimer, koordinator proyek di Museum Hamelin yang telah menyelenggarakan pameran khusus yang berfokus pada jangkauan global legenda si Peniup Seruling mengungkapkan, 

"Cerita si Peniup Seruling setahu kami dikenal di sedikitnya 42 negara dan 30 bahasa, mungkin lebih," kata Reimer, yang sedang mempersiapkan debut pamerannya pada 26 Juni,

"Dan cerita itu muncul dalam karya seni, sastra, dan musik internasional. Si Peniup Seruling adalah warisan budaya yang menghubungkan banyak orang."

https://www.kompas.com/global/read/2020/09/17/190000870/kisah-misteri-apakah-130-anak-di-hamelin-benar-benar-diculik-si-peniup

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke