Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah 3 Wanita Korban Selamat dari Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki 75 Tahun Silam

TOKYO, KOMPAS.com - Jumlah korban yang terbunuh saat itu tercatat sekitar 140.000 dari 350.000 penduduk yang ada di Hiroshima, dan sekitar 74.000 orang yang terbunuh di Nagasaki.

Pengeboman itu mengakhiri perang secara tiba-tiba di Asia, dengan Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.

Kemudian yang selamat dalam pengeboman saat itu dikenal dengan sebutan Hibakusha. Mereka yang selamat telah berhasil lolos dalam menghadapi dampak yang mengerikan dari bom atom, mulai dari keracunan radiasi hingga trauma psikologis.

Melansir BBC pada Sabtu (2/8/2020), tiga wanita Hibakusha menceritakan tentang kejadian 75 tahun silam yang masih mereka ingat kuat kepada seorang jurnalis foto Inggris, Lee Karen Stow.

Saat pengeboman terjadi di Hiroshima 6 Agustus 1945, Teruko yang selamat masih berusia 15 tahun.

Teruko tengah menempuh pendidikan tahun keduanya di sekolah keperawatan di Rumah Sakit Palang Merah, Hiroshima.

Setelah bom meledak, asrama sekolahnya di rumah sakit terbakar. Teruko membantu memadamkan apinya, tetapi banyak teman-temannya yang sudah tewas dalam kobaran api.

Dalam ingatannya, seminggu setelah pengeboman terjadi, ia bekerja siang dan malam untuk merawat korban dengan luka-luka mengerikan. Sementara, ia dan para orang yang selamat tidak memiliki persediaan makanan dan air yang cukup.

Setelah lulus, Teruko terus bekerja di rumah sakit, di mana dia membantu operasi yang melibatkan pencangkokan kulit.

Kulit diambil dari paha pasien dan dicangkokkan ke daerah yang mengalami keloid akibat luka bakar.

Dia kemudian menikahi Tatsuyuki, yang selamat dari bom atom.

Ketika Teruko hamil dengan anak pertama mereka, khawatir apakah bayi itu akan lahir sehat dan apakah bayi itu akan selamat.

Dengan adanya putrinya, Tomoko, yang lahir dan bertumbuh, memberikan Teruko keberanian dalam membesarkan keluarganya.

"Aku belum pernah ke Neraka, jadi aku tidak tahu seperti apa rasanya, tapi Neraka mungkin seperti apa yang kita alami. Jangan sampai hal itu terjadi lagi," kata Teruko.

"Ada orang yang melakukan upaya keras untuk menghapuskan senjata nuklir. Saya pikir langkah pertama adalah membuat para pemerintah daerah mengambil tindakan. Kemudian kita harus menjangkau para pemimpin pemerintahan nasional, dan seluruh dunia."

"Orang-orang mengatakan tidak ada rumput atau pohon yang akan tumbuh di sini selama 75 tahun, tetapi Hiroshima bangkit kembali sebagai kota dengan tanaman hijau dan sungai yang indah," kata putri Teruko, Tomoko.

Namun, hibakusha ini terus menderita berbagai efek radiasi.

Sementara ingatan Hiroshima dan Nagasaki memudar dari benak orang-orang. Hibakusha ini masih mengiinigatnya. 

"Masa depan ada di tangan kita. Perdamaian hanya mungkin terjadi jika kita memiliki imajinasi, memikirkan orang lain, menemukan apa yang bisa kita lakukan, mengambil tindakan, dan melanjutkan upaya tanpa lelah setiap hari untuk membangun perdamaian," ujar Teruko.

Kuniko, cucu perempuan Teruko, hany abis amembayangkan peristiwa yang terjadi saat itu yang diamali oleh para Hibakusha.

"Saya tidak mengalami perang atau pemboman atom, saya hanya tahu Hiroshima setelah dibangun kembali. Saya hanya bisa membayangkan," ujar Kuniko.

"Jadi saya mendengarkan apa yang dikatakan masing-masing hibakusha. Saya mempelajari fakta-fakta pemboman atom berdasarkan bukti," kata Kuniko.

Pada hari itu, semuanya dibakar di kota. Orang, burung, capung, rumput, pohon, semuanya.

"Dari orang-orang yang memasuki kota setelah bom terjadi, untuk kegiatan penyelamatan keluarga dan teman mereka, banyak yang meninggal. Mereka yang selamat dari bom atom menderita penyakit," ujar Teruko.

Lalu, ia mengatakan bahwa dirinya telah menjalin hubungan yang lebih dekat tidak hanya dengan hibakusha di Hiroshima dan Nagasaki, tetapi juga dengan pekerja tambang uranium. 

"Orang-orang yang tinggal di dekat tambang itu, orang-orang yang terlibat dalam pengembangan dan pengujian senjata nuklir, dan penahan angin (mereka yang menderita penyakit akibat dari pengujian senjata nuklir)," ujarnya,

Emiko berusia delapan tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima.

Kakak perempuannya, Mieko, dan empat kerabat lainnya terbunuh.

Banyak foto Emiko dan keluarganya hilang, tetapi foto-foto yang disimpan di rumah kerabatnya selamat, termasuk foto saudara perempuannya.

"Adikku meninggalkan rumah pagi itu, berkata, 'Sampai jumpa lagi!' Dia baru berusia dua belas tahun dan begitu penuh semangat," kata Emiko.

"Tapi dia tidak pernah kembali. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya," ujar Emiko.

Orang tuanya dengan putus asa mencarinya. Mereka tidak pernah menemukan tubuh adiknya, jadi mereka mengatakan bahwa sang adik masih hidup di suatu tempat.

"Ibuku sedang hamil saat itu, tetapi dia keguguran," ujar Emiko.

Setelah pengeboman yang terjadi Emiko dan keluarganya tidak punya apa-apa untuk dimakan. Mereka tidak tahu tentang radiasi, jadi mereka mengambil apa pun yang bisa ditemukan tanpa memikirkan apakah itu terkontaminasi atau tidak.

"Karena tidak ada yang dimakan, orang-orang akan mencuri. Makanan adalah masalah terbesar. Air pun adalah kenikmatan! Saat itu menceritakan bagaimana orang bertahan hidup, tetapi sekarang sudah dilupakan," ungkapnya.

Akibat terpapar radiasi terus-menerus, Emiko mendapatkan gangguan kesehatan.

"Rambut saya mulai rontok, dan gusi saya mulai berdarah. Saya terus-menerus kelelahan, selalu harus berbaring. Tidak ada seorang pun pada saat itu yang tahu apa itu radiasi. Dua belas tahun kemudian, saya didiagnosis menderita anemia aplastik," ungkapnya.

Peristiwa pengeboman Hiroshima menjadi kenangan terburuknya hingga saat ini, ia masih ingat betul keadaan kota yang terbakar saat itu.

"Setiap tahun ada beberapa kali ketika matahari terbenam dan langit berwarna merah pekat. Sangat merah, sehingga wajah orang pun terlihat menjadi merah.
Pada saat-saat itu saya tidak bisa tidak memikirkan matahari terbenam pada hari terjadinya bom atom. Selama tiga hari tiga malam, kota itu terbakar," ungkapnya.

Kejadian 75 tahun lalu itu, membuat Emiko membenci matahari tenggelam.

"Bahkan sekarang, matahari terbenam masih mengingatkanku pada kota yang terbakar," ucapnya.

Ia mengatakan banyak hibakusha mati tanpa bisa membicarakan hal-hal yang dilalui mereka, kepahitan mereka atas pengeboman. "Mereka tidak dapat berbicara, jadi saya bicara sekarang," ucapnya.

Menurutnya, banyak sekarang orang berbicara tentang perdamaian dunia, tetapi ia ingin suatu tindakan nyata untuk mewujudkan itu. Saya ingin setiap orang mulai melakukan apa yang mereka bisa lakukan untuk perdamaian dunia.

"Saya sendiri ingin melakukan sesuatu agar anak-anak dan cucu-cucu kita, yang adalah masa depan kita, dapat hidup di dunia, di mana mereka dapat tersenyum setiap hari," ungkapnya.

Reiko Hada berusia sembilan tahun ketika bom atom dijatuhkan di kota asalnya, Nagasaki pada 9 Agustus 1945, pukul 11.02 waktu setempat.

Pagi itu, ada peringatan serangan udara, jadi Reiko tetap di rumah.

Setelah suara peringatan itu selesai, dia pergi ke kuil terdekat, di mana anak-anak di lingkungannya akan belajar, sebagai pengganti pergi ke sekolah, karena seringnya peringatan serangan udara.

Setelah sekitar 40 menit belajar di kuil, para guru memberhentikan kelas, sehingga Reiko pulang.

"Aku berhasil sampai ke pintu masuk rumahku, dan kurasa aku bahkan melangkah masuk," Reiko menjelaskan.

"Lalu, tiba-tiba sebuah cahaya menyala menerpa mataku. Warnanya kuning, khaki dan oranye, semuanya bercampur menjadi satu. Aku bahkan tidak punya waktu untuk bertanya-tanya apa itu. Dalam waktu singkat, semuanya menjadi sangat putih," ungkapnya.

"Rasanya seolah-olah aku dibiarkan sendirian. Momen berikutnya ada suara gemuruh yang keras. Lalu, aku pingsan," ucapnya.

Setelah beberapa saat, saya sadar dan ingat guru yang mengajar pernah mengatakan untuk pergi ke tempat perlindungan serangan udara saat keadaan darurat. Jadi, saya mencari ibu saya di dalam rumah, dan kami pergi ke tempat perlindungan serangan udara di lingkungan kami.

"Saya tidak memiliki satu goresan pun. Saya telah diselamatkan oleh Gunung Konpira. Tetapi itu berbeda bagi orang-orang di sisi lain gunung; mereka menderita kondisi yang mengerikan," ujar Reiko.

Banyak yang melarikan diri dari Gunung Konpira ke komunitas di lingkungan daerah Reiko berada. Orang-orang dengan mata mereka keluar, rambut mereka acak-acakan, hampir semuanya telanjang, terbakar sangat parah dengan kulit terurai.

"Ibu saya mengambil handuk dan seprai di rumah dan, bersama wanita-wanita lain di komunitas itu, membawa orang-orang yang melarikan diri ke auditorium sebuah perguruan tinggi komersial terdekat tempat mereka bisa berbaring," ungkapnya.

Mereka meminta air dan Reiko diminta untuk membantu mereka memberikan air. Dengan pecahan mangkuk yang ditemukan, Reiko pun pergi menuju sungai terdekat untuk mengambil air minum.

"Setelah minum seteguk air, mereka mati. Orang mati satu demi satu.

Saat itu musim panas. Belatung dan bau yang mengerikan dari mayat-mayat mencuat, sehingga harus segera dikremasi. Mereka ditumpuk di kolam renang di kampus dan dikremasi dengan kayu bekas.

"Tidak mungkin tahu siapa orang-orang itu. Mereka tidak mati seperti manusia umumnya," ujarnya.

Ia kemudian berharap, generasi mendatang tidak akan pernah harus melalui pengalaman serupa yang ia alami.

"Kita tidak boleh membiarkan senjata nuklir itu digunakan. Adalah orang-orang yang menciptakan perdamaian. Bahkan jika kita hidup di negara yang berbeda dan berbicara bahasa yang berbeda, keinginan kita untuk perdamaian adalah sama," pungkasnya.

https://www.kompas.com/global/read/2020/08/04/170839670/kisah-3-wanita-korban-selamat-dari-bom-atom-hiroshima-dan-nagasaki-75

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke