Oleh: Kevindra Soemantri
Salah satu hal yang menyenangkan kalau sedang eksplor makanan adalah memperhatikan jalanan sekitar.
Pagi itu saya berjalan kaki, dari gedung Sarinah yang sedang siap bersolek, hingga masuk jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.
Trotoarnya asik sekali, lapang dan bersih. Perasaan lapang seperti ini tak bisa dirasakan kalau hanya lewat kaca mobil saja. Kaki harus benar- benar menapak dan mengikuti alurnya.
Sampailah akhirnya saya, disambut fasad rumah makan bertuliskan Kantin Rujak Cingur Pak Hadi.
"Mboten pak'e," seru sekelompok orang di meja depan saya.
Lalu, kedengaran juga interaksi Bahasa Jawa Timur-an yang ramai oleh pelayan dan pelanggan di meja satunya.
Sekejap rasanya seperti lagi di sebuah depot di Lamongan atau Surabaya.
Saya heran, dari banyaknya tempat makan tradisional dan lama di wilayah Menteng, nama Kantin Rujak Cingur Pak Hadi belum mendapat perhatian lebih. Padahal, wilayah KH Wahid Hasyim bukanlah terpencil.
Mereka yang mau ke arah Jalan Johar Gondangdia atau menuju Kebon Sirih, pasti akan melewati tempat yang menyajikan semangkuk Soto Madura yang sungguh sedap ini.
Ya, saya tidak memulainya dengan rujak cingur, namun dengan sesuatu yang lebih ringan, Soto Madura.
Semangkuk soto dipenuhi dengan irisan daging lebar serta paru yang sudah direbus.
Kuah kekuningan namun lebih gurih dari Soto Lamongan itu menghentak mulut, menjadi pembuka yang mempersiapkan mulut untuk menyantap yang disajikan selanjutnya.
Saya ingat Soto Madura yang pertama kali saya santap adalah saat berada di Surabaya, di malam hari bersama teman mencari makanan yang menghangatkan tubuh.
Setidaknya memori rasa itu terobati dengan soto milik kantin ini. Lalu, hadirlah sang primadona, rujak cingur. Bukan yang biasa, namun yang spesial.