KOMPAS.com – MSG adalah singkatan dari monosodium glutamat. MSG dikenal sebagai salah satu penambah rasa pada makanan.
MSG di Indonesia seringkali disebut juga sebagai mecin atau micin. Pada dasarnya, kedua hal tersebut adalah hal yang sama.
Seperti dilansir The Spruce Eats, MSG berupa kristal berwarna putih yang diekstrak dari asam glutamat alami yang bisa ditemukan di banyak bahan makanan. Rumput laut, batang tebu, dan beberapa sayuran tertentu, misalnya.
Baca juga: Bagaimana Proses Membuat Mecin? Berasal dari Bahan-bahan Ini...
Dilansir dari Britannica, MSG akan memberikan rasa tambahan yang unik pada masakan yang dikenal sebagai rasa umami.
Rasa ini berbeda dari rasa dasar lainnya, yakni asam, asin, pahit, dan manis. Umami akan meningkatkan rasa kompleks pada sajian yang dimasak.
Baca juga: Apa itu Rasa Umami? Apa Bedanya dengan Rasa Asin?
Dilansir Glutamate.org, MSG merupakan bentuk murni dari glutamat, salah satu jenis asam amino yang paling umum ditemukan di banyak bahan makanan.
Asam amino merupakan pembentuk protein. Lidah manusia memiliki reseptor khusus untuk glutamat.
Sama halnya untuk rasa dasar seperti manis, asam, asin, dan pahit. Glutamat ini merupakan kunci dari rasa umami.
MSG berbeda dari penyedap rasa. Jika kamu hanya melarutkan MSG dalam air, maka tidak akan memberikan rasa yang enak.
Namun, jika kamu mencampurkannya pada sesuatu masakan, misalnya pada sup, maka MSG akan meningkatkan rasa sup tersebut.
Sejarah MSG berawal dari seorang bernama Profesor Kikunae Ikeda asal Jepang, melansir Buletin Ajinomoto edisi 27 September 2017 vol. 2 dari sumber “My Motivation for inventin AJI-NO-MOTO” karya Kikunae Ikeda tahun 1933, courtesy of Aozora Bunko.
Pada 1907, Profesor Ikeda sedang mencicipi kaldu sup dashi yang dimasak oleh istrinya yang disajikan bersama tahu rebus.
Namun, ada rasa nikmat yang berbeda yang dirasakan oleh Profesor Ikeda dalam sup tersebut.
Ternyata istrinya menggunakan kombu, rumput laut kering sebagai dasar kaldu sup. Kombu tersebut memberikan cita rasa yang dirasa unik oleh Profesor Ikeda.
Kemudian, pada tahun 1908 Profesor Ikeda berhasil mengisolasi kristal dari rumput laut tersebut yang dianggap memberikan cita rasa yang ia deteksi.
Kristal ini kemudian ia sebut sebagai MSG, dan mulai diproduksi massal pada 1909 dengan nama Ajinomoto.
Baca juga: Cara Membuat Kaldu Ceker Ayam yang Kaya Kolagen
MSG seringkali dianggap problematik karena dilaporkan bisa menyebabkan reaksi fisik yang tidak enak.
Mengonsumsi MSG dalam jumlah banyak, konon bisa menyebabkan sensasi terbakar, kulit yang kencang, dan sensasi kesemutan pada orang tertentu.
Dilansir dari The Spruce Eats, mengonsumsi MSG dalam jumlah banyak juga dilaporkan bisa menyebabkan efek samping atau gejala.
Beberapa gejala yang dimaksud seperti sakit kepala, mual, pusing, detak jantung tidak beraturan, kantuk yang berlebihan, dan telinga berdenging.
Reaksi hipersensitif ini pertama kali dilaporkan pada 1968 lalu, dikenal sebagai MSG symptom complex atau sering juga disebut sebagai “Chinese restaurant syndrome” karena banyak koki di restoran China yang menggunakan MSG dalam jumlah banyak.
Namun di kemudian hari, banyak penelitian yang menunjukkan tidak adanya keterkaitan yang jelas antara sindrom tersebut dengan konsumsi MSG dalam jumlah normal.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan juga World Health Organization (WHO) juga sudah mengklasifikasikan MSG sebagai sesuatu yang aman untuk dikonsumsi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.