Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Strategi Angkat Sagu Jadi Pangan Alternaif, Kurangi Ketergantungan akan Beras

Kompas.com - 22/10/2020, 14:41 WIB
Syifa Nuri Khairunnisa,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Butuh penanganan dari hulu ke hilir untuk realisasi sagu sebagai pangan alternatif yang berkelanjutan.

Hal itu disampaikan Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti dan juga pegiat pangan olahan sagu Saptari Ningwulan, dalam sesi talkshow “Sagu Pangan Sehat untuk Indonesia Maju” Pekan Sagu Nusantara, Selasa (20/10/2020).

Menurutnya, pemerintah telah membuat beberapa rencana penanganan di hulu. Beberapa di antaranya adalah penataan dan perluasan yang dilakukan Kementerian Pertanian.

Baca juga: Produktivitas Sagu Masih Rendah, Kementan Tata dan Perluas Lahan Sagu

 

Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Perum Bulog) juga membuat produksi Sago Mee Bulog.

Upaya Bulog di hulu

Upaya Perum Bulog di hulu lewat peluncuran produk Sago Mee Bulog jadi salah satu upaya untuk meningkatkan potensi sagu menjadi pangan alternatif.

“Kita ingin mengenalkan, jangan ketergantungan dengan mi dari gandum. Sementara mi ini kebanyakan dari gandum. Sehingga kita akan memperbesar impor,” tutur Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso di kesempatan yang sama.

talkshow di Pekan Sagu NusantaraDok. YouTube Pekan Sagu Nusantara talkshow di Pekan Sagu Nusantara

Jika produk ini berhasil dan bisa dikelola dengan baik, maka diharapkan bisa mengurangi tingkat impor gandum.

Tak itu saja, sagu juga perlahan diharapkan bisa menggantikan beras sebagai sumber pangan utama di Indonesia.

Menurut Budi, saat ini saat ini banyak masyarakat yang mencari alternatif pangan selain beras.

“Masyarakat kita tidak semua mengonsumsi beras. Apalagi budaya sekarang orang senang diet. Makan yang kadar gula rendah. Sagu ini salah satunya alternatif yang sangat baik,” tegas Budi.

Pasalnya semakin ke sini lahan untuk menanam padi sudah semakin sempit. Jika terus menerus dibiarkan, maka akan memberikan kesulitan di masa depan.

Baca juga: Tantangan Petani Sagu di Meranti, Hasil Banyak tetapi Daya Beli Sedikit

Ia mencontohkan beberapa wilayah seperti Wamena di Papua yang masih sulit dijangkau transportasi.

Jika terjadi kesulitan pangan dan semua daerah di Indonesia tergantung dengan beras, maka akan sulit untuk mengirimkan beras ke daerah-daerah seperti Wamena.

Beda ceritanya jika masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi pangan alternatif salah satunya sagu.

Tak itu saja, jika terus mengandalkan beras maka Indonesia nantinya malah menjadi pangsa pasar negara-negara penghasil beras.

Ilustrasi tepung sagu basahShutterstock/Riana Ambarsari Ilustrasi tepung sagu basah

“Seperti sekarang kan kita kalah bersaing untuk produksi beras. Kualitas kita masih rendah dengan Vietnam. Di sana satu hektar bisa menghasilkan di atas tujuh ton," kata Budi.

Sementara hasil produksi beras di Indonesia, disebutkan Budi satu hektar rata-rata hanya menghasilkan empat sampai lima ton beras.

Maka dari itu ia berharap agar nantinya industri pangan alternatif seperti sagu ini bisa meningkatkan produksi dan juga kualitasnya.

Jika itu terjadi, Indonesia pada dasarnya tidak perlu khawatir soal pangan karena punya sumber yang sangat banyak.

“Pangan kita apa saja ada. Ubi banyak, kentang banyak. Tinggal bagaimana kita menggiatkan itu untuk jadi sumber pangan kita untuk ketahanan pangan kita,” pungkas dia.

Sagu sebagai pangan berkelanjutan

Selain usaha di hulu, Saptari menilai bahwa usaha meningkatkan pamor sagu di hilir juga tak kalah penting.

Baca juga: Potensi Sagu Sebagai Ketahanan Energi, Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat

“Kami melihat bahwa itu dari hulu sudah ada program. Tapi di hilirnya seperti apa, karena hilir yang menentukan kita sebagai konsumen, untuk sagu bisa dikonsumsi masyarakat,” kata Saptari.

Semua hal yang sudah dilakukan untuk meningkatkan pamor serta kualitas sagu nantinya akan percuma jika masyarakat belum mengerti seperti apa cara mengolah sagu yang benar.

Pasalnya, sejauh ini masyarakat cenderung mengetahui sagu hanya sebagai bahan membuat papeda.

Papeda yang teksturnya seperti lem mungkin akan sulit diterima sebagian orang.

Ilustrasi olahan mi sagu. Makanan berbahan dasar sagu.Shutterstock/Riddick Evander Ilustrasi olahan mi sagu. Makanan berbahan dasar sagu.

“Nah itu tugas kami di hilir. Bagaimana pangan lokal itu bisa menarik dan jadi makanan kontemporer. Bahwa sagu tidak hanya bisa dimasak jadi papeda atau ongol-ongol,” tutur Saptari.

Salah satunya di bidang kuliner. Menurut Saptari, suatu makanan akan berkelanjutan jika memiliki tekstur, aroma, warna, serta rasa.

“Jadi kala bicara soal sustainable food system itu tidak hanya bicara sosial, ekonomi, lingkungan saja tapi juga sensori. Makanan akan berkelanjutan apabila rasa bisa diterima lidah masyarakat,” tegasnya.

Misalnya, jika dari hulu dalam hal ini pemerintah melaksanakan kebijakan “One Day No Rice” atau sehari tanpa nasi, hal itu mungkin akan percuma.

Baca juga: Sagu, Jawaban dari Krisis Pangan Indonesia, Mengapa?

Terutama jika masyarakat belum tahu produk olahan sagu yang menarik dan punya rasa yang enak.

Namun Saptari menyebut, jika makanan itu menarik dan jadi makanan kontemporer, maka tanpa kebijakan khusus pun masyarakat pasti akan mencarinya.

Nantinya, setiap jenis sagu yang berasal dari daerah berbeda bisa diolah jadi aneka jenis olahan. Pasalnya setiap jenis sagu pasti memiliki karakteristik yang berbeda.

“Misal karakater dari Meranti itu kalau untuk beras sagu itu bagus karena kokoh karakternya, warnanya juga agak kecoklatan. Tetapi kalau dari Papua itu sagunya halus sekali. Lembut dan warnanya sangat putih. Itu menarik sekali untuk jadi makanan,” jelas Saptari.

Papeda yang dihidangkan bersama ikan kuah kuning, di resto Dua Ikan, Ambon, Maluku. KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Papeda yang dihidangkan bersama ikan kuah kuning, di resto Dua Ikan, Ambon, Maluku.

Masuk ke sekolah pariwisata

Cara lainnya untuk memperkenalkan penggunaan sagu pada makanan adalah dengan memperkenalkan sagu ke sekolah-sekolah pariwisata.

Menurut Saptari, cara ini salah satunya dilakukan oleh produsen terigu.

Setelah siswa lulus dan masuk ke ranah memasak di kitchen atau pastry, mereka akan menggunakan produk yang mereka ketahui sejak masa sekolah.

“Sagu juga sudah masuk ke sekolah pariwisata. Terutama di STP Trisakti. Banyak mahasiswa yang kita ajari dari mulai teori sampai praktik bagaimana mengolah sagu,” ujar dia.

Potensi ekonomi dan kesehatan

Saptari menilai, potensi yang dimiliki sagu benar-benar luas. Di antaranya adalah potensi di bidang ekonomi.

Baca juga: Kementan: Sagu Punya Potensi untuk Ditanam hingga 5,5 Juta Hektar

Ia sendiri merupakan salah satu pelaku usaha yang menggunakan bahan baku sagu.

Lewat mereknya Putri Sagu, ia memproduksi beras dan mi sagu serta makanan olahan beku dan siap saji.

Selain itu, sagu juga tepat untuk menjaga kondisi kesehatan masyarakat. Kandungan nutrisi pada sagu sangat tinggi. Salah satunya karena sagu banyak tumbuh di hutan.

Selain itu, indeks glikemiknya juga rendah, yang cocok untuk para penderita diabetes. Sagu juga bebas gluten, sehingga cocok untuk anak berkebutuhan khusus.

“Kemudian juga punya serat yang tinggi. Itu cocok untuk penderita celiac disease atau gangguan pencernaan dan auto-imun,” pungkasnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com