KOMPAS.com – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) diharapkan bisa memberi sosialisasi soal protokol kesehatan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), tak terbatas pada restoran.
Frans Teguh Staf Ahli Bidang Pembangunan Keberlanjutan dan Konservasi Kemenparekraf dalam acara webinar Indonesia Cara, Selasa (25/8/2020), mengatakan bahwa Kemenparekraf akan berkoordinasi dengan semua stakeholder yang terlibat untuk proses sosialisasi.
“Kita sebagai kementerian di pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam rangka penyuluhan, pendampingan, sosialisasi, dan juga memastikan kerja edukasi kita tidak sendirian, peran teman-teman pelaku sangat signifikan,” jelas Frans.
“Kalau UMKM ini kita sudah bergandengan dengan teman-teman UMKM, Kementerian Koperasi ya. Jadi pola ini yang kita lakukan secara bertahap dan kolektif,” sambung dia.
Baca juga: New Normal, Bagaimana Protokol di Coffee Shop Jakarta?
Selain menggunakan lini sosial media, Kemenparekraf juga akan melakukan sosialisasi secara langsung jika memungkinkan.
“Sekarang ini kita lakukan sosialisasi untuk teman-teman di daerah offline. Tapi kita lihat, kalau daerahnya hijau, bisa bertemu leluasa tapi tetap jaga jarak,” papar Frans.
Sosialisasi protokol kesehatan pada UMKM dianggap sangat penting karena selama ini banyak pedagang kaki lima yang berjualan tanpa mengindahkan protokol kesehatan.
Seperti tidak menggunakan masker, tak ada jaga jarak, bahkan tidak menggunakan sarung tangan ketika mempersiapkan makanan dan transaksi keuangan.
Baca juga: New Normal di Bangkok, Street Food Dibatasi Plastik dan Jaga Jarak
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan bahwa hal itu terjadi karena sosialisasi soal protokol kesehatan pada pelaku UMKM seperti pedagang kaki lima pasti akan butuh waktu.
Pasalnya, protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh Kemenparekraf lewat buku panduan operasional hotel dan restoran salah satunya, merupakan hal yang sangat baru.
Ia memberi contoh soal penggunaan metal detector di bandara untuk mencegah aktivitas terorisme.
Hal itu dahulu sempat mendapat tantangan dari masyarakat, tapi lama kelamaan mereka pun terbiasa karena adanya proses.
“Ini yang dinamakan culture shock (geger budaya) atau penyesuaian di masyarakat. Enggak akan pernah mudah. Butuh waktu dan sosialisasi,” ujar Maulana.
“Kalau dulu di bandara kan tempat rentan teroris. Kalau ini masalah pandemi. Mau tidak mau kita harus lakukan yang masif,” sambung dia.
Baca juga: Panduan Selama di Restoran untuk Pengusaha, Karyawan, dan Tamu dari Kemenparekraf
Sosialisasi soal protokol kesehatan pada masyarakat dan UMKM pasti tidak akan mudah. Pasalnya, kata Maulana, masyarakat biasanya terbagi menjadi dua.