Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/06/2020, 19:17 WIB
Yana Gabriella Wijaya,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bisnis kuliner dengan konsep cloud kitchen atau disebut juga ghost kitchen tengah digandrungi pada masa pandemi.

Pelaku bisnis kuliner menyebutkan cloud kitchen mampu memangkas biaya operasional di tengah bisnis yang surut. Benarkah demikian? 

Susanty Widjaya selaku Certified Franchise Experts, Ketua Pengembangan Resto Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dan Ketua Asosiasi Lisensi Indonesia (ASENSI) menjelaskan keuntungan dan kerugian berbisnis kuliner dengan konsep cloud kitchen. 

Perlu diketahui, cloud kitchen adalah dapur restoran yang tidak menyediakan area makan di tempat dan hanya melayani jasa pesan antar makanan. 

Dalam satu cloud kitchen bisa diisi satu sampai beberapa merek restoran berbeda.

Baca juga: Apa Itu Cloud Kitchen, Konsep Bisnis Kuliner yang Marak Saat Pandemi

"Cloud kitchen bukan hal yang baru di Indonesia," kata Susanty dihubungi Kompas.com, Sabtu (21/6/2020).

Cloud kitchen sudah menjadi tren sejak akhir tahun 2019 dan semakin populer di masa pandemi virus corona.

Awalnya cloud kitchen diperuntukkan bagi pelaku bisnis kuliner dengan modal yang minim.

Pelaku bisnis kuliner bisa memangkas biaya operasional yang besar, seperti biaya sewa toko, listrik, gaji pramusaji, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Gibran Rakabuming Ubah Restoran Jadi Cloud Kitchen di Masa Pandemi, Seperti Apa?

Sebab pelaku bisnis hanya fokus menjaga kualitas makanan serta kebersihan makanan yang akan diantar ke konsumen. 

Layanan cloud kitchen juga disebutkan Susanty menguntungkan bagi konsumen.

Pembeli tidak perlu datang ke restoran untuk membeli makanan, hanya perlu memesan makanan lewat aplikasi layanan pesan antar makanan.

Ilustrasi makanan yang dibungkus.  Dok. Shutterstock/CKP1001 Ilustrasi makanan yang dibungkus.

Bisa juga langsung menelpon ke operator restoran yang menggunakan konsep cloud kitchen untuk memesan makanan.

Dibandingkan restoran konvensional, proses pemesanan, pembuatan, dan pengantaran makanan dari cloud kitchen ke pelanggan akan relatif lebih singkat.

Tantangan menjalankan cloud kitchen

Namun sebagaimana bisnis pada umumnya, konsep cloud kitchen juga memiliki tantangan yang bisa jadi merugikan. 

"Tantangannya tergantung dari bagaimana mereka (merek) bisa membagi-bagi dapur," sebut Susanty. 

"Misalnya satu dapur untuk lebih dari satu brand, di situ bagaimana mereka bisa menjaga resep rahasia dari kompetitor?," katanya.

Baca juga: Panduan Makan di Restoran pada Era New Normal

Selain itu jika dalam satu dapur ada banyak merek restoran, maka pelaku bisnis kuliner harus memutar otak untuk menawarkan variasi produk yang berbeda.

Hal ini untuk mengurangi persaingan usaha dan menawarkan variasi produk pada konsumen. 

Produk adalah pemeran utama dalam bisnis kuliner ini sehingga produk yang dijual harus unik dan menonjol.

Jika produk makanan biasa saja dan cenderung sama maka sulit dikenal dan diingat oleh konsumen.

Baca juga: New Normal, Bagaimana Protokol di Coffee Shop Jakarta?

Hal lain yang disebutkan Susanty, pelaku bisnis harus konsisten dalam mempertahankan kebersihan, kualitas, dan rasa dari produk agar mendapat kepercayaan dari konsumen.

Cloud kitchen juga butuh pengawasan penuh, layaknya dapur di restoran konvensional. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com