Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masalah di Rantai Pasok Pangan, Timbulkan Limbah Makanan

Dalam proses tersebut, banyak masalah yang bisa menyebabkan limbah makanan, food loss dan food waste.

Advisor of FoodCycle Indonesia Suryadi Nagawiguna menjelaskan bagaimana peran rantai pasok pangan dalam membantu menurunkan limbah makanan. 

Masalah dari segi konsumen

Menurutnya, sekitar 30 persen produksi makanan dalam rantai pasok pangan akan terbuang percuma.

Terutama di Asia Selatan dan Asia Tenggara, lebih banyak terjadi food loss di rantai produksi makanan daripada food waste di pihak konsumen.

“Awalnya dari segi konsumen, yaitu dari permintaannya sendiri sering berubah,” kata Suryadi dalam webinar “Foodcycle World Food Day 2020” pada Jumat (9/10/2020).

Termasuk di antaranya adalah selera konsumen akan penampilan makanan yang berubah.

Sementara dari segi komoditas, masalah yang sering muncul adalah dari segi umur produk dan masalah transportasi.

Hal itu membuat para produsen kesulitan untuk membuat perkiraan mengenai jumlah produk yang diperlukan dan tempat paling tepat untuk memasarkannya.

“Karena juga dari segi lingkup global ada banyak hal. Kadang kalau prakiraan salah itu ada tempat yang surplus, ada tempat yang defisit,” papar Suryadi.

Selain dari segi konsumen, ada juga penyebab dari luar.

Pandemi Covid-19 yang tidak bisa diprediksi juga membuat masalah baru pada proses rantai pasok pangan.

Masalah di segi operator dan distribusi

Selain di segi permintaan konsumen, ada juga masalah-masalah yang terjadi di segi operator rantai pasok pangan. Baik itu dari segi manufaktur maupun transportasi.

“Hal-hal yang memang perlu terus diperbaiki yaitu dari bagian produksi, kecacatan barang, dan kadang dari segi penganan. Misalnya cold chain (menjaga suhu produk) yang jadi suatu keharusan,” tutur Suryadi.

Sementara di bagian retail dan distribusi, masalah-masalah yang sering terjadi termasuk aturan penyimpanan barang serta manajemen inventaris.

Apalagi pada masa pandemi seperti ini, banyak lockdown ditetapkan pemerintah yang akhirnya berdampak pada distribusi produk.

Itu pastinya akan mempengaruhi suplai barang serta proses transportasi produk. Pasalnya lockdown pasti akan mempengaruhi kelancaran transportasi global dan nasional.

“Kadang mereka buruk perencanaannya. Sehingga misalnya untuk barang-barang yang mau kadaluarsa itu kurang terkoordinasi,” sambung dia.

Akibatnya, banyak barang-barang yang keburu kadaluarsa malah berakhir jadi limbah. Termasuk jika cara penyimpanan barang yang dilakukan tak tepat.

Pasalnya, banyak produk yang masa penyimpanannya pendek dan ada juga yang sensitif terhadap suhu udara.

Jika disimpan dengan cara yang keliru dan pengaturan yang berantakan, produk-produk ini malah berakhir jadi limbah.

Tempat yang berlebih dan kurang

Masalah lain khususnya selama pandemi Covid-19 yang terjadi dalam rantai pasok pangan ini adalah ketersediaan suplai yang tidak merata.

Ada tempat yang punya kelebihan suplai, sebaliknya ada yang kekurangan.

Suryadi menuturkan, pada awal pandemi banyak supermarket yang mengalami kekurangan produk makanan karena banyak orang yang melakukan penumpukan.

Mereka membeli produk lebih banyak dari yang diperlukan karena takut kesulitan akses ke depannya.

“Lalu sekarang juga lebih banyak yang masak di rumah. Barang-barang berubah. Banyak barang non-perishable (tidak mudah busuk) yang lebih laku,” terang dia.

Namun di sisi lain, food loss juga jadi lebih banyak. Banyak makanan segar khususnya yang terpaksa dibuang begitu saja karena masa kadaluarsanya sudah lewat.

Misalnya di beberapa supplier yang biasa melakukan penyaluran langsung ke konsumen atau restoran.

Barang-barang segar seperti susu atau telur misalnya, seringkali harus dimusnahkan.

Salah satu sebabnya karena restoran banyak yang tidak beroperasi layaknya biasa. Sehingga jumlah penyaluran makanan pun tidak sebanyak biasanya.

https://www.kompas.com/food/read/2020/10/14/210800875/masalah-di-rantai-pasok-pangan-timbulkan-limbah-makanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke