Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/09/2023, 16:03 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com -  Rektor Universitas Pertahanan (Unhan), Letnan Jenderal TNI Jonni Mahroza Ph.D mengatakan, perubahan iklim dan krisis air ini memerlukan penanganan yang efektif untuk memitigasi dampak negatif yang timbul.

Salah satunya dengan meningkatkan ketahanan air (water security) di seluruh Indonesia.

Water Security adalah kemampuan untuk memastikan akses yang berkelanjutan terhadap air bersih yang cukup untuk kehidupan yang baik, pembangunan ekonomi, dan perlindungan lingkungan.

Baca juga: Kemendikbud: Sistem Zonasi Dihapus Tidak Selesaikan Masalah PPDB

"Bahkan, krisis air bersih menjadi salah satu ancaman paling nyata yang akan dihadapi Indonesia dan negara-negara lain di seluruh dunia," kata dia dalam acara Water Security Seminar - Technology For Indonesia, dikutip dalam keterangan resminya, Senin (25/9/2023).

Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diproyeksikan bahwa pada tahun 2025, seluruh bumi akan mengalami krisis air.

PBB juga memperkirakan pada tahun 2030, kebutuhan air tawar global akan meningkat sekitar 40 persen lebih tinggi daripada ketersediaannya saat ini, sebagai akibat dari perubahan iklim, aktivitas manusia, dan pertumbuhan penduduk.

Setelah Cape Town yang beberapa waktu lalu mengalami krisis air bersih, sebelas kota lain yang juga terancam mengalami hal yang sama yaitu Sao Paulo, Bangalore, Beijing, Kairo, Jakarta, Moskwa, Istanbul, Mexico City, London, Tokyo, dan Miami.

Menurut Rektor Mahroza, kondisi water security di Indonesia saat ini sedang menuju ke krisis air, ditandai dengan terjadinya kekeringan di Nusa Tenggara (NTT dan NTB), Maluku, Jawa (Gunung Kidul), dan terjadinya banjir di DKI, Bandung dan beberapa kota lainnya sebagai dampak dari perubahan iklim.

Dampak dari perubahan iklim ini, sebut dia, disebabkan oleh pencemaran lingkungan, terutama pencemaran udara oleh CO2, NO3, dan HSO2, yang berkontribusi pada efek rumah kaca dan hujan asam.

Efek rumah kaca memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan suhu global, termasuk suhu perairan laut.

"Peningkatan suhu laut ini telah memicu fenomena, seperti badai El Nino dan La Nina, yang mengakibatkan timbulnya spot-spot daerah yang terlalu basah dan terlalu kering," jelas dia.

Daerah yang terlalu basah mengakibatkan curah hujan yang tinggi dan banjir, sedangkan daerah yang terlalu kering menyebabkan kekeringan dan kekurangan air.

Baca juga: 5 Beasiswa S1-S3 ke Luar Negeri, Ada yang Sedang Buka Pendaftaran

Dampak ini, dia menegaskan, memiliki efek sistemik yang berpengaruh pada aspek pertahanan dan keamanan negara, seperti penurunan ketersediaan air bersih, penurunan produktivitas pangan, pertanian dan industri, bencana alam, serta dampak lainnya yang dapat dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Penurunan ketersediaan air diprediksi akan terjadi di Pulau Jawa

Dia mengaku, penurunan ketersediaan air yang merata diperkirakan akan terjadi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara selama periode proyeksi 2020-2045.

Pada tahun 2024, tercatat penurunan rata-rata ketersediaan air sebesar 439,21 m3 per kapita per tahun di Pulau Jawa dan 1.098,08 m3 per kapita per tahun di Nusa Tenggara.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.



Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com