KOMPAS.com - Mi instan cukup banyak beredar di kalangan luas sebagai makanan populer.
Selain dikenal karena praktis, mi instan juga dikenal variasi rasa yang beragam.
Baca juga: Indomie Ditarik di Taiwan, Dosen UM: Ini Bahaya Konsumsi Etilen Oksida
Pergeseran pola konsumsi ini dimungkinkan karena mi dapat diproses dengan mudah, disajikan dengan praktis dan dapat memenuhi selera bagi sebagian besar masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak.
Ahli Gizi UM Surabaya, Tri Kurniawati menyebut, mi instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome food), karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh.
Mi yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit.
"Pemenuhan kebutuhan gizi mi instan dapat diperoleh jika ada penambahan sayuran dan sumber protein," kata dia mengutip laman UM Surabaya, Kamis (4/5/2023).
Di lain sisi, mi instan juga dapat membahayakan kesehatan.
Hal ini dikarenakan dalam sekali penyajian mi instan umumnya mengandung lemak dan natrium yang tinggi, tapi rendah serat, vitamin dan mineral.
Pola konsumsi mi instan mempunyai pengaruh positif terhadap obesitas abdominal dan hiperkoles-terolemia.
Baca juga: 10 Kampus Punya Jurusan Ilmu Komputer Terbaik di Indonesia, Ada 3 PTS
"Konsumsi mi instan lebih dari 2 bungkus dalam seminggu berhubungan dengan peningkatan sindrom metabolik yang tinggi pada wanita," tegas dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.