KASUS korupsi di Indonesia hingga kini masih marak di berbagai pemberitaan media massa. Mirisnya bukan hanya dilakukan oleh kalangan pejabat publik, birokrasi, pihak swasta, dan politisi saja, tetapi juga oleh kelompok akademisi di lingkungan perguruan tinggi.
Dalam catatan KPK, beberapa nama pejabat struktural di perguruan tinggi negeri terseret kasus dugaan tindak pidana korupsi, seperti Saidurahman mantan rektor USU dengan dugaan korupsi Rp 10,3 miliar untuk pembangunan kampus terpadu UNISU Medan tahun 2008.
Kemudian Fasichul Lisan, mantan rektor Unair dengan dugaan korupsi Rp 85 miliar untuk pembangunan rumah sakit Unair tahun 2016 dan Prof. Karomani dengan dugaan jual beli bangku di Unila tahun 2022.
Terbaru pada 2023, KPK menetapkan Rektor Unud Bali, Prof. I. Nyoman Gde Antara sebagai tersangka kasus korupsi sejumlah Rp 105,39 miliar atas dugaan penilapan uang sumbangan pengembangan institusi atau SPI mahasiswa baru dengan jalur mandiri dari tahun akademik 2018/2019 hingga 2022/2023 (Tempo, 15/03/2023)
Di luar itu, KPK juga pernah mencatat beberapa nama insan akademisi lainnya yang terlibat dugaan kasus korupsi seperti Komarudin (Rektor UNJ), Akhmad Mujahidin (Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim), dan Tafsir Nurchamid (Wakil Rektor UI Bidang SDM, Keuangan, dan Administrasi Umum).
Rentetan kasus korupsi tersebut tentunya sangat mencoreng wajah perguruan tinggi yang seharusnya menjadi wilayah intelektual yang menjunjung tinggi pemikiran kritis, nilai demokrasi, kebenaran ilmiah, anti-politik, dan membela masyarakat.
Dikutip dari Kompas (23/08/2022), pakar sekaligus pengamat pendidikan, Darmaningtyas menyebutkan tiga alasan utama mengapa sikap korup tumbuh di lingkungan kampus, yaitu:
Pertama, proses pemilihan rektor atau dekan yang sarat dengan muatan politis. Pemilihan kerap diwarnai dinamika saling menjatuhkan antarcalon dan saling lobi ke penentu suara sehingga akan berpotensi memunculkan politik balas budi sebagai ‘imbalan’.
Kedua, posisi rektor atau dekan dianggap sebagai jabatan politis yang juga membawa konsekuensi ekonomi dan sosial tinggi.
Dengan gaji terbatas, mereka harus memberikan sumbangan besar di kegiatan acara tertentu demi membangun relasi sehingga secara potensial tindakan korupsi bisa terjadi untuk memenuhi kebutuhan ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.