PREDIKSI kehadiran teknologi super canggih seyogianya telah dibayangkan umat manusia bertahun lalu. Rangkaian revolusi industri mempertegas hal ini.
Prof Klaus Schwab adalah satu orang yang mengenalkan istilah revolusi 4.0 kepada publik. Inilah revolusi yang semakin mengaburkan batas antara bidang fisik, digital, dan biologis. Sang Profesor menegaskan revolusi industri keempat sebagai suatu momen ketika dunia mengacu pada bagaimana teknologi seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), kendaraan otonom, dan internet saling memengaruhi kehidupan manusia (Haqqi & Wijayati, 2019).
Namun ternyata, kecanggihan teknologi ini (seakan-akan) datang terlalu awal. Publik dibuat kaget. Praktisi pendidikan terhenyak. Kecepatan membangun kurikulum untuk membangun kompetensi lulusan perguruan tinggi di berbagai level, seakan berpacu dengan kecanggihan teknologi artifisial yang (terlanjur) diyakini bisa mereduksi kapabilitas dan kompetensi lulusan.
Serangan ini ’begitu mendadak’ sehingga strategi bertahan ataupun win-win solution-nya belum sempurna dirumuskan.
Hari ini dunia pendidikan mengalami kekawatiran baru dengan hadirnya ChatGPT. Ada kekawatiran, para pembelajar, khususnya mahasiswa, baik level S1, S2 ataupun S3 mendayagunakan kecanggihan aplikasi ini untuk membantu mereka mengerjakan tugas-tugasnya. Dampaknya, tugas-tugas yang seharusnya ’sulit’ menjadi terlalu ’mudah’.
Salahkah ini? Tidak bolehkan tugas akhir dikerjakan mahasiswa secara mudah? Bukankah keberhasilan menghasilkan mesin cerdas ini adalah kesuksesan proses pendidikan?
Baca juga: Guru Besar IPB: Penggunaan ChatGPT Bisa Majukan Iptek
Ragam pertanyaam, tentu tidak akan pernah berhenti, ketika muncul sebuah fenomena yang mengagetkan. Seperti berikut ini: Apakah jika mahasiswa mahir menggunakan ChatGPT berarti yang bersangkutan dapat dipastikan ’curang’? Apakah aplikasi ini didesain untuk curang?
Tentu masih banyak pertanyaan lainnya. Namun intinya sudah siapkah kita menghadapi ragam kemajuan teknologi ini? Secara lebih tegas lagi, siapkah kita berdiri tegak sebagai subyek yang mengendalikannya, alih-alih menjadi obyek yang dikendalikan teknologi itu?
Secara filosofis, teknologi diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Maka, kita harus selalu dapat berpikir positif bahwa seluruh kehadiran teknologi baru, dapat selalu dikendalikan sesuai dengan tujuan penciptaanya, dan mampu diselaraskan dengan etika, norma dan nilai yang dihayati umat manusia.
Pendapat klasik menyatakan bahwa jika sebuah soal ujian terlalu mudah dijawab, maka gantilah soalnya (dengan yang lebih sulit). Maka seyogianya, manusia sebagai pembuat mesin dan aplikasi, harus ’lebih pintar’.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.