DOSEN perguruan tinggi tengah menjadi topik perbincangan panas di sejumlah kanal media masa arus-utama cetak dan/atau elektronik. Harian Kompas yang telah mengungkap “indikasi” adanya praktik-praktik menyimpang dari etika dan integritas akademik oleh oknum-oknum dosen terkait dengan publikasi ilmiah.
Eksistensi perguruan tinggi sebagai garda terdepan, pengemban amanah, pengawal, dan pemelihara tradisi dan integritas akademik kembali digugat. Dalam sekejap, kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi seakan “runtuh”.
Baca juga: Hasilkan 1.921 Jurnal Internasional, Kemendikbud Apresiasi Mahasiswa PMDSU
Diakui atau tidak, fenomena di atas tidak bisa dilepaskan dan merupakan ekses (dampak negatif) dari kebijakan yang mewajibkan dosen memiliki publikasi ilmiah internasional bereputasi yang diakui oleh Kemendikbudristek sebagai syarat tambahan. Khususnya bagi dosen yang akan mengusulkan kenaikan jabatan akademik secara “regular” ke profesor atau “loncat jabatan” ke lektor kepala atau profesor.
Kewajiban itu berlaku sejak tahun 2014 melalui Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit 2014 dan 2019. Keputusan Ditjendikti No.12/E/KPT/2021 juga mewajibkan setiap dosen dengan jabatan akademik profesor memiliki publikasi karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi setiap tiga tahunan sekali.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan memperoleh sanksi berupa pembinaan oleh pimpinan perguruan tinggi, dan penghentian sementara pemberian tunjangan sertifikasi dosen dan tunjangan kehormatan profesor. Ketentuan ini efektif berlaku pada tahun akademik genap 2022/2023.
Kebijakan tersebut tidak hanya ikhtiar untuk lebih mendorong produktivitas, kualitas, dan reputasi karya ilmiah dan publikasinya bagi para dosen perguruan tinggi. Itu juga kebijakan untuk menjaga marwah dan kewibawaan akademik seorang profesor, pemegang jabatan akademik tertinggi di lingkungan perguruan tinggi, yang menuntut kepemilikan karya ilmiah yang “luar biasa” untuk meraihnya.
Baca juga: Ketika Dosen Kehilangan Kodrat
Lebih dari itu, kebijakan itu juga menjadi “program mercusuar” Kemendikbudristek yang diharapkan mampu mengangkat nama Indonesia sebagai salah satu negara pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatkan daya saing bangsa di kancah internasional.
Walhasil, program ini telah sukses mendongkrak jumlah publikasi artikel internasional bereputasi secara eksponensial. Data SCIMAGO memperlihatkan jumlah artikel bereputasi dosen Indonesia naik 83 persen dari 6.931 artikel (2014) menjadi 12.706 artikel (2016), dan terus mengalami kenaikan 288 persen hingga menembus angka 49.350 artikel (2021).
Program itu juga sukses menaikkan ranking Indonesia dari peringkat 50 (2014) menjadi 21 dunia. Di tingkat Asia pun ranking Indonesia naik dari 11 (2014) menjadi ranking 5 (2021).
Sejak tahun 2018 produktivitas Indonesia dalam publikasi ilmiah bereputasi mengatasi semua negara di kawasan ASEAN. Untuk menyukseskan program mercusuar tersebut, Kemendibbudristek melalui Ditjendiktiristek membuat kebijakan-kebijakan baru untuk lebih meningkatkan jumlah publikasi artikel pada jurnal internasional bereputasi.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.