UNESCO menetapkan 24 Januari sebagai Hari Pendidikan Internasional. Tujuannya tentu untuk membangun manusia yang unggul melalui pendidikan. Manusia unggul berpeluang mengatasi masalah yang dihadapi bersama.
Target PBB tentunya negara-negara berkembang, yang menghadapi masalah multidimensi, seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, penyakit, kriminalitas, kerusakan lingkungan, dsb.
Bagi Indonesia, Hari Pendidikan Internasional itu merupakan pemicu untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Saat ini mutu SDM kita rendah karena pendidikan yang belum merata di seluruh tanah air.
Masih ada warga bangsa kita yang belum mengenal sekolah dasar hingga dewasa. Tenaga kerja kita sebagian besar hanya lulusan SMA atau lebih rendah.
Tidak heran jika produktivitas ekonomi kolektif bangsa ini rendah, lebih rendah dari negara-negara tetangga.
Maka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus dipacu di setiap daerah, termasuk di wilayah perbatasan, di pulau-pulau terluar, dan di kawasan-kawasan permukiman yang terpencil.
Sudah umum diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia secara internasional rendah. Salah satu penyebab SDM rendah adalah kita kurang gemar membaca buku.
UNESCO (2012) yang mengukur indeks baca negara-negara menunjukkan angka untuk Indonesia sebesar 0,001, yaitu hanya satu dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Ini ekuivalen dengan satu orang dari 200-an keluarga, atau kurang lebih satu orang dalam setiap Rukun Warga (RW). Di RW kita, mungkin hanya kita yang suka membaca.
World's Most Literate Nations (2016) menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara dalam tingkatan literasi. Sungguh cukup memprihatinkan.
Penilaian dari luar tersebut sinkron dengan temuan dari dalam negeri. Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) yang dihitung Kemendikbudristek mencatat angka 37,32 (dari 100) pada tahun 2019.
Rendahnya minat membaca itu termanifestasi dalam jarangnya masyarakat pergi ke perpustakaan.
Survei harian Kompas (22/8/2022) menunjukkan bahwa hanya 7 persen responden yang sering ke perpustakaan, selebihnya tidak pernah (57 persen), sangat jarang (22 persen), dan kadang-kadang (13,5 persen). Statistik itu menegaskan mengapa pada umumnya perpustakaan sepi pengunjung.
Di pihak lain, kini di banyak kota terlihat ada upaya untuk membangun perpustakaan yang modern, baik dari segi penampilan maupun pengelolaan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.