Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Waode Nurmuhaemin
Penulis

Praktisi pendidikan, penulis buku dan novel pendidikan

Turbulensi Kurikulum Merdeka

Kompas.com - 20/01/2023, 15:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengadakan evaluasi terhadap program Merdeka Mengajar. Program yang dilucurkan sejak 2019 ini, perlu dianalisis dari berbagai segi.

Merdeka Mengajar telah memasuki episode 22. Untuk Kurikulum Merdeka dari SD hingga SMA, memang belum bisa dievaluasi secara menyeluruh karena baru saja diluncurkan pada Februari 2022. Kurikulum ini masih seumur jagung.

Dalam pelaksanaannya, kurikulum ini sejak awal menimbulkan kontroversi. Kurikulum ini bersifat opsional hingga membuat sekolah-sekolah seperti memakan buah simalakama. Ingin menerapkan, namun belum siap. Tidak menerapkan, seolah ketinggalan zaman.

Kurikulum Merdeka begitu canggih, dibantu oleh platfrom Merdeka Mengajar. Semua kebutuhan guru atas kurikulum ini ada di platform tersebut.

Contoh modul, alur pembelajaran, alur tujuan pembelajaran, contoh karya guru bisa diunduh dengan mudah. Diharapkan guru tinggal menerapkan.

Di sinilah malapetaka sesungguhnya dimulai. Memahami sebuah kurikulum tidaklah semudah meng-copy paste bahan-bahan Kurikulum Merdeka tersebut.

Guru-guru harus memahami secara mendalam filosofi Kurikulum Merdeka. Mengapa memakai Kurikulum Merdeka? Apa keunggulan Kurikulum Merdeka?

Terutama mengubah mindset guru-guru untuk segera migrasi dari cara pandang Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka.

Di samping itu, teknis implementasi serta penerapan Kurikulum Merdeka harus dipahami. Jika guru-guru langsung menerapkan Kurikulum Merdeka dari pemahaman masing-masing, maka yang terjadi mereka meraba-raba bagaimana kurikulum ini diterapkan di dalam kelas.

Kurikulum ini memang sudah diterapkan setahun sebelumnya di 2.500 sekolah penggerak dari total 394.000 sekolah di Indonesia.

Sampai Juli 2022, baru sekitar 143.000 sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Jumlah guru penggerak baru sekitar 147.000 orang dari total 3,3 juta guru.

Sebanyak 2500 sekolah penggerak yang menjadi piloting Kurikulum Merdeka mendapat Rp 100 juta dalam pelaksanaanya. Tidak adil rasanya jika kemudian sekolah-sekolah lain yang menerapkan Kurikulum Merdeka tidak mendapat dana sebesar Rp 100 juta.

Untuk prinsip keadilan, sebaiknya pemerintah memberikan semua sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka dana Rp 100 juta.

Mengapa sekolah penggerak yang notabone sekolah unggulan mendapat dana tersebut, sementara sekolah lain tidak? Perlu transparasi dari pihak sekolah dan Kemdikbud Ristek.

Yang patut mendapat perhatian dalam evaluasi Kurikulum Merdeka adalah soal infrastruktur sekolah.

Menurut kepala kurikulum Kemdikbud Ristek, Anindito Aditomo, kurikulum ini bisa dipakai di semua sekolah dari Sabang sampai Merauke.

Masalahnya, dalam implementasi Kurikulum Merdeka, para guru memerlukan jaringan internet yang stabil untuk memakai platform Merdeka Mengajar.

Data terbaru memperlihatkan ada 8.522 sekolah yang belum teraliri listrik dan 42.159 sekolah belum terakses internet. Apakah sekolah-sekolah itu bisa menerapkan Kurikulum Merdeka?

Kurikulum Merdeka menekankan kemajuan digitalisasi sehingga klaim bisa dipakai semua sekolah rasanya masih perlu untuk dikaji lagi.

Terakhir adalah aspek kecukupan guru dan rombongan belajar atau rombel. Kurikulum ini diadopsi dari kurikulum barat yang maju.

Inti Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran berdeferensiasi. Guru harus memberikan treatmen berbeda-beda sesuai kemampuan siswa. Itu artinya hanya akan efektif di kelas yang tidak padat dan riuh.

Dengan demikian, rasanya mustahil menerapkan kurikulum ini di sekolah-sekolah padat.

Bagaimana sekolah-sekolah di daerah yang hanya punya satu atau dua guru? Apa bisa terlaksana pembelajaran berdeferensiasi?

Sudah menjadi rahasia umum, hanya sedikit guru yang mau ditempatkan di daerah-daerah minim fasilitas. Sementara di kota surplus guru. Sebaran guru belum merata.

Hingga saat ini, banyak sekolah yang masih nyaman dengan K13 dan masih memakai K13.

Mengapa mereka lebih memilih K13? Karena guru-guru sudah mendapat pelatihan K13. Sementara Kurikulum Merdeka diinstrusikan untuk dipahami sendiri.

Sebelas bulan dari sekarang, apakah semua sekolah bakal memakai Kurikulum Merdeka? Ketika pemerintahan berganti pada 2024, apakah sekolah masih mau memakai kurikulum Merdeka?

Hal ini perlu diperjelas dan dipertegas. Bangsa ini sudah sangat lelah dengan model kurikulum yang terus berganti.

Sebaiknya Kurikulum Merdeka diwajibkan tahun 2023, bukan 2024. Supaya semua sekolah mempunyai pemahaman yang sama terkait Kurikulum Merdeka sebelum pergantian pemerintahan.

Dalam kurikulum K13, penjurusan tetap ada. Sementara di Kurikulum Merdeka, penjurusan tidak ada. Saat ini pendaftaran perguruan tinggi sudah memakai penerimaan model Kurikulum Merdeka yang tanpa penjurusan.

Bagaimana para siswa tamatan sekolah-sekolah yang masih memakai K13?

Semua hal-hal di atas menjadikan turbulensi Kurikulum Merdeka. Pendidikan adalah kunci memajukan SDM. Perlu keseriusan untuk tidak terus-terusan berganti rupa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com